TEMPO.CO, Jakarta - Intermittent fasting (IF) atau puasa berselang sering jadi pilihan diet untuk orang yang ingin menurunkan berat badan. Diet ini dilakukan dengan hanya makan dalam jangka waktu terbatas, umumnya 8 jam, dan berpuasa selama beberapa jam yang tersisa dalam sehari. Namun, sebuah studi baru menemukan bahwa pola makan ini dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya.
Studi baru, yang diterbitkan dalam jurnal Eating Behaviors, menggunakan analisis data dari Canadian Study of Adolescent Health Behaviors. Data ini berisi informasi mengenai lebih dari 2.762 remaja dan dewasa muda yang menunjukkan bahwa selama satu tahun, 38,4 persen pria, 47,7 persen wanita, dan 52 persen transgender atau individu genderless telah melakukan puasa intermiten.
Gangguan makan remaja
Mereka yang berada di balik penelitian ini menemukan bahwa intermittent fasting terkait dengan perilaku makan yang tidak teratur. Untuk wanita, itu termasuk pesta makan dan muntah serta olahraga kompulsif, sementara pria cenderung melakukan yang terakhir.
"Mengingat temuan kami, masalahnya seberapa lazim puasa intermiten dalam sampel kami," kata penulis utama Kyle T. Ganson, asisten profesor di University of Toronto Factor-Inwentash Faculty of Social Work, menurut EurekAlert! yang dikutp Eatthis.com, Senin, 21 November 2022.
Jason M. Nagata, rekan penulis studi dan asisten profesor di University of California, San Francisco, menambahkan, "Hubungan yang ditemukan antara puasa intermiten dan perilaku gangguan makan sangat menonjol, mengingat peningkatan yang signifikan dalam gangguan makan di kalangan remaja dan dewasa muda sejak awal pandemi COVID-19."
Ahli gizi Mary Curnutte mengatakan bahwa studi ini menunjukkan hubungan yang sudah terlihat dalam praktik sehari-hari. "Klien sering memulai praktik puasa intermiten untuk 'menjadi sehat' karena ini adalah sesuatu yang dipromosikan sebagai sehat. Namun, membatasi asupan dapat menyebabkan perilaku makan ekstrem lainnya. Mengabaikan rasa lapar dapat menyebabkan rasa lapar meningkat, mengakibatkan makan berlebihan. Perilaku ini juga dapat memicu perilaku kompensasi seperti olahraga berlebihan atau muntah."
Selain itu, Curnutte menambahkan, mereka yang rentan terhadap gangguan makan restriktif menemukan bahwa pembatasan makan dalam intermittent fasting kemudian memicu dorongan restriktif ini. "Saya senang melihat penelitian yang menggunakan kumpulan data besar untuk menunjukkan bahwa hubungan ini signifikan, sehingga kami dapat berkomunikasi dengan orang lain bahwa puasa intermiten adalah sesuatu yang harus diwaspadai."
Curnutte juga mencatat bahwa mereka yang memiliki riwayat gangguan makan tidak boleh melakukan diet ini dalam keadaan apa pun. "Mereka yang merasa memiliki hubungan yang rumit dengan makanan harus menghindari ini juga," kata dia.
Bagi orang lain yang tertarik dengan puasa intermiten, Curnutte mengatakan tubuh secara alami berpuasa semalaman. "Jika memutuskan ingin melakukan intermittent fasting untuk waktu yang lebih lama daripada puasa semalaman ketika kita tidur, saya menyarankan mendiskusikannya dengan ahli diet untuk memastikan mereka tidak melewatkan hal penting yang dapat membahayakan tubuh mereka."
EATTHIS.COM
Baca juga: Kenali Tubuh Anda, Diet Intermittent Belum Tentu Cocok Untuk Semua Orang
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.