TEMPO.CO, Jakarta - Seiring dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diperpanjang lagi hingga akhir Mei nanti, pemakaian masker kain dianjurkan untuk melindungi diri dari penyebaran virus corona yang semakin meluas.
Kini semakin banyak desainer yang membuat masker kain, bahkan beberapa di antaranya menyiapkan edisi premium sesuai dengan permintaan pasar. Salah satunya adalah desainer Riri Rengganis.
"Ide dari pembuatan masker premium ini sebetulnya sangat sederhana, saya hanya mencoba untuk menawarkan kepada pelanggan loyal saya, desain yang bisa dipadukan dengan koleksi baju yang sudah ada, baik dari brand Rengganis maupun Indische," ucap Riri melalui siaran pers, Selasa 5 Mei 2020.
Di luar dugaan, ternyata justru masker ini menarik juga bagi orang-orang
baru yang belum kenal dengan kedua brand Riri. Ternyata, kebutuhan akan masker premium sangat tinggi, dan sekarang telah menjadi produk aksesoris paling dicari.
Riri mengatakan bahwa maskernya terbuat dari bahan 100 persen katun voille dilapisi dengan woven interlining (istilah umumnya “trikot”) dan satu lagi lapis tipis non-woven interlining (istilah umumnya “kain kapas”). Lalu dalamnya ditutup dengan katun voille lagi agar bisa disisipkan tisu (reusable tissue ataupun tisu basah yang dikeringkan) sebagai filter sesuai anjuran pemerintah.
"Sebelum diluncurkan, saya sudah tes masker ini. Tanpa tisu pun sudah tidak bisa meniup lilin di depannya. Namun dengan bentuknya yang seperti mangkuk, maka kain tidak menempel pada lubang hidung sehingga kita tetap nyaman untuk bernapas (breathable)," ucapnya.
Dengan kemunculan berbagai desain masker premium, customised, tematik, batik, tenun dan lain-lain oleh berbagai UKM di seluruh Indonesia, terasa betul ini bukan saja masalah kesempatan bisnis. Tetapi perlu didokumentasikan sebagai potret sejarah bagaimana industri kecil Indonesia berjuang dan menggeliat di tengah ketidakpastian.
Kondisi menjadi rentan karena tidak adanya insfrastruktur industri, sekaligus tangguh (resilient) karena tinggi kreativitas didukung oleh pasar dalam negeri yang berjiwa gotong-royong, tetap semangat membeli produk sesama pengrajin/desainer lokal.
"Sesungguhnya ini adalah masa yang sangat menarik. Saya penasaran, sejauh mana ekonomi kreatif bisa berkontribusi pada kehidupan di masa sulit, maupun di dunia baru nanti setelah pandemi di mana perilaku manusia dan pola konsumsinya sudah
berubah," pungkasnya.
Riri mengatakan saat ini tiga outletnya di Alun Alun Indonesia GI, Sarinah
Thamrin, bahkan butik konsinyasi di Singapura juga sedang tutup karena lockdown akibat pandemi Covid-19. Ia sementara ini fokus pada penjualan online dan membuat produk yang lebih relevan dengan kebutuhan dan daya beli sekarang.