Peringatan Latief Suwignya ihwal ketergantungan bahan baku tenun pada produk impor terbukti. Kejatuhan usaha orang tuanya kembali terulang di era Siti Rukayah saat terjadi krisis ekonomi pada 1997.
Harga bahan baku benang dan pewarna tak terkejar dengan nilai penjualan sarung yang hanya dibanderol Rp 25 ribu per potong. Krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga meletusnya gerakan reformasi dengan lengsernya kekuasaan Presiden Soeharto memperburuk industri ini. "Saya menyerah dan menutup usaha ini," kata Siti Rukayah.
Tidak adanya peluang kerja di luar tenun memaksa Siti Rukayah menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Status juragan tenun dia tanggalkan untuk menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Hingga pada akhirnya Rukayah kembali pulang ke Bandar Kidul dengan memegang uang Rp 14 juta sebagai upah dua tahun menjadi pembantu.
Ilustrasi perajin tenun. TEMPO | Hari Tri Wasono (Kediri)
Atas persetujuan suaminya, uang itu dibelanjakan untuk membeli benang dan zat pewarna. Siti Rukayah bertekad membangun kembali tenun yang pernah dirintisnya. Bermodal 15 unit mesin tenun yang masih terawat baik, Rukayah menarik kembali bekas pekerjanya yang menganggur.
"Setiap hari Kamis saya keliling hingga ke desa-desa menjual sarung sendiri. Sebab hari Sabtu harus membayar gaji pekerja," kata Rukayah yang memulai kembali usahanya di tahun 2001. Dengan membawa beberapa lembar kain sarung dan kartu nama yang dibuat ala kadarnya, perempuan ini mendatangi rumah-rumah petani yang baru saja panen. Mereka adalah konsumen potensial karena baru saja memegang uang.
Langkah inilah yang tak dilakukan pemilik industri tenun lain di Bandar Kidul. Mereka lebih menyukai menunggu kunjungan pembeli daripada bergerak keluar seperti Rukayah. Sehingga tak heran jika produk sarung milik Rukayah lebih dikenal luas dengan merek dagang Medali Mas.
Siasat dagang juga dilakukan Rukayah dengan meminta jasa tukang jahit. Mereka diminta memotong kain tenun yang dia produksi menjadi pakaian, tas, dan sepatu. Hingga pada akhirnya usaha milik Rukayah benar-benar meninggalkan perajin tenun lain di kampungnya yang masih berkutat pada sarung.
Diversifikasi hasil kain tenun menjadi penyelamat bagi Siti Rukayah agar tetap bertahan. Sebagai perajin pionir sekaligus terbesar, rumah produksi milik Siti Rukayah mampu memproduksi 60 sampai 70 potong per hari. Dia juga memiliki 98 pekerja dengan 47 alat tenun yang menghasikan pendapatan hingga Rp 300 juta per bulan