TEMPO.CO, Jakarta - Putri sulung Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto sudah mengurangi aktivitas di dunia politik. Perempuan 69 tahun itu sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Dari pernikahannya dengan Indra Rukmana, Tutut Soeharto memiliki empat anak, yakni Dandy Nugroho Hendro Maryanto, Danty Indriastuti Purnamasari, Danny Bimo Hendro Utomo, dan Danvy Sekartaji Indri Haryanti Rukmana.
Baca juga:
April Mop Tahun ini, Tutut Dapat Kejutan Manis
Cara Tutut Soeharto sebagai Anak Sulung Dukung Adik-adiknya
Di acara buka puasa bersama di kediaman Soeharto di Cendana, Jakarta Pusat, Tutut mengatakan saat ini dia memiliki sembilan cucu. "Sekarang saya sibuk jadi MC atau momong cucu," kata Tutut Soeharto, Senin 4 Juni 2018. Perempuan yang biasa disapa Mbak Tutut ini menemani cucu-cucunya ketika orang tuanya bekerja. Kebetulan, rumah mereka saling berdekatan. "Jadi kalau mereka ada apa-apa ya ke saya."
Saat menemani cucu-cucunya yang berusia 3 tahun sampai ada yang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas atau SMA, Tutut Soeharto memperhatikan bagaimana mereka mahir menggunakan gadget. Tak mau kalah, Tutut Soeharto yang biasa dipanggil eyang oleh cucu-cucunya itu ikut-ikutan belajar memakai gadget sampai bermain game bersama mereka. "Lebih seru momong cucu. Soalnya sudah lama tidak ada anak kecil di rumah, sekarang punya anak kecil lagi," kata Tutut Soeharto.
Putri sulung mendiang Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut. TEMPO/Subekti
Selain mengurus cucu-cucunya, dia juga hobi membuat lagu, bernyanyi, dan menulis sajak di rumah. Tutut telah menulis sekitar 120 lagu dan sajak. Dia berharap bisa membuat konser di Januari 2019.
Kehidupan keluarga Cendana menarik perhatian publik karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Di masa pemerintahannya, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi, namun dengan catatan korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkaran keluarga dan kerabat dekat, serta tentang gaya pemerintahan otoriter.
Kestabilan ekonomi dan keamanan mulai goyah pada 1998. Indonesia memasuki masa krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi besar-besaran pun terjadi. Masyarakat dari kalangan mahasiswa sampai elit politik turun ke jalan, menguasai gedung dewan dengan satu tujuan: menunutut Soeharto turun. Soeharto kemudian menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998.