TEMPO.CO, Jakarta – Saat Ramadan, umat Islam melakukan ibadah puasa di mana pun mereka berada. Ada yang puasa di negara yang banyak muslimnya, ada juga yang puasa di negara yang tidak banyak kaum muslim. Dengan perbedaan budaya, tentu pengalaman puasa juga terasa berbeda.
Puasa di luar negeri, terutama di negara yang mayoritas penduduknya tidak berpuasa, akan terasa berbeda dengan puasa di negeri sendiri, yang mayoritas menganut agama Islam. Hal ini dirasakan siswa Academy of Art di San Francisco, Amerika Serikat, Oriza Lubis.
“Karena di US kita termasuk kaum minoritas, tidak banyak orang yang berpuasa seperti layaknya di Indonesia. Menurut saya, kegiatan berpuasa itu jadi lebih berharga dan bermakna,” ujarnya kepada Tempo, Minggu, 20 Mei 2018.
Artikel lainnya:
3 Macam Makanan yang Harus Dilupakan Kala Berbuka Puasa
Segarnya Es Teh Leci untuk Menu Buka Puasa, Wajib Coba Resepnya
Lebih lanjut, Oriza mengaku merasa bahagia ketika Ramadan akan datang. Sebab, dia dapat berbagi ilmu mengenai agama Islam kepada teman-teman di Amerika, khususnya tentang Ramadan, ibadah, puasa, dan tujuannya.
Selain itu, perbedaan waktu puasa juga memiliki dampak terhadap suasana puasa. Biasanya, karena musim yang berbeda, puasa di Amerika jauh lebih lama. “Selain itu, mungkin lebih susah juga karena lebih banyak godaan, orang-orang di sekeliling kita tidak berpuasa. Jadi kitanya sendiri harus benar-benar sadar diri dan memang niat untuk berpuasa,” ucapnya.
Baca juga: Menu Buka Puasa yang Disarankan Pakar Nutrisi
Terlebih bagi orang yang pertama kali puasa di luar negeri, menurut Oriza, akan lebih sulit menjalankannya karena belum terbiasa dengan perbedaan waktu dan sebagainya. Jika sedang di luar negeri dan jauh dari keluarga, puasa juga akan terasa berbeda karena harus bangun sahur sendiri. Akan terasa lebih ringan jika mencari atau bergabung dengan komunitas Islam di luar negeri.