TEMPO.CO, Jakarta - Mengenakan blouse tenun warna peach dari Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipadukan denga palazzo hitam, desainer dan pemilik Butik Tenun LeViCo Julie Laiskodat tampak chic. “Saya ini iklan berjalan untuk Tenun NTT, setiap hari pakai tenun NTT,” katanya yang ditemui Tempo pada Kamis 24 Agustus di LeViCo.
Ini bukan karena, sang suami Laiskodat dari NTT, tapi Ibu tiga anak kelahiran Jakarta 1972 , ini mengaku bangga karena tenun NTT itu sangat kaya motif dan teknik tenunnya. “Kalau NTT ada tenun ikat, sortis, dan buna,” katanya. Tenun ikat itu motifnya tidak timbul. Sementara sortis, motifnya timbul di satu sisi. Dan buna, motifnya tenunnya timbul di kedua sisi, “Tenun buna ini yang akan kami bawa ke New York,” katanya.
Bersama Kanaya Tabitha, Julie memang merancang dan menggadang tenun NTT ini untuk JSL LeViCo The Secret Journey to East Nusa Tenggara, Spring 2018 Couture Collection, New York, The Crown laza Hotel Time Squares, Sunday September 10th, 4 pm, 2017.
Soal Tenun NTT, Julie memang fasih menerangkannya. Soal kelebihan lain dari tenun NTT misalnya, Julie bercerita soal warnanya. Setiap kabupaten di NTT (ada 22 kabupaten), memiliki warna khasnya sendiri-sendiri. “Seluruh warna ada di NTT, tidak ada alasan saya harus mencintai tenun lain,” katanya yang menegaskan alasan kenapa tenun NTT ini yang dibawanya ke New York.
Untuk ke New York, mereka membawa kain tenun Timor Timur Selatan (TTS) dan Timor Timur Utara (TTU), karena memiliki warna yang cenderung berani. “Jadi cocok dengan tema Spring dan Summer yang kami usung di fashion 10 September nanti,” kata Julie. (baca: Kanaya Tabitha Turun Gunung, dari NTT ke NewYork)
Keistimewaan lainnya dari tenun NTT adalah karakteristik motifnya. Motif-motifnya dibuat dari apa yang mereka lihat saat menenun. Seperti bila melihat hujan, mereka akan membuat motif alam. Motif yang dibuat juga bisa berdasarkan lingkungan tempat tinggal. Seperti kain tenun yang motifnya dari salah satu kabupaten, Sumba. Di sana, tingkat kerajaannya tinggi jadi wajah-wajah yang serupa rajanya bisa ditemukan di tenunnya.
Di TTS, ada satu desa boti. Mereka punya ciri khas unik, laki-laki rambutnya dikonde, karena tidak boleh digunting dari muda sampai tua. Dan perempuannya tidak boleh sekolah kecuali diberi pengecualian dari raja. Nah, ciri khas motif tenun di daerah Boti ini adalah cicak. Cicak itu menceritakan silahturahmi antar tetangga atau keluarga. “Kain khas dari daerah Boti ini juga kami bawa ke New York,” katanya.
Selanjutnya, Julie juga bercerita bahwa tenun NTT ini sudah menjadi budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari di daerah asalnya. Di NTT, tenun dipakai bukan hanya untuk tutup badan, tapi juga dalam berbagai acara suka dan duka, termasuk menjadi mas kawin. Tenunan juga adalah alat mereka mencari nafkah, sambil menenun bisa membantu perekonomian keluarga.
Yang dikhawatirkan Julie adalah kini mulai marak tenun NTT yang diprinting dengan alat mesin dari Cina. “Printing itu adalah sesuatu yang akan mematikan mata pencaharian para pengrajin,” katanya serius sambil melanjutkan bahwa dia akan demo terus untuk anti printing.
Imej kalau kain tenun NTT mahal juga menjadi salah satu sebab sulitnya menjual kain tenun tersebut. (baca: Sekjen PSSI Ratu Tisha Berkisah Cinta Sejati di Sepakbola)
Julie ingin mengubah imej mahal tersebut. Dulu mahal, karena benangnya dari kapas, pembuatannya bisa 4 bulan sampai 1 tahun. Sekarang, kata Julie, sudah menggunakan benang sintesis, lebih cepat dan efisien. Harganya juga jadi bisa lebih murah.
Di Pengrajin, kain tenun lebih mahal, karena menurut Julie, mereka belum berpikir jauh. "Pemikirannya dijual mahal-mahal karena siapa lagi sih yang akan membeli tenunnya," katanya. Mimpinya adalah mengubah imej tersebut, dan semakin banyak yang menggunakan tenunan NTT. Karenanya di butik tenunnya, LeViCo, harga-harga kain tenunnya tak mahal. “Rp 50 ribu saja sudah dapat kain tenun NTT,” katanya.
“Kalau hanya kolektor saja yang membeli, berapa banyak yang mau koleksi? Harus dijadikan baju modern, sesuai dengan yang digunakan sehari-hari. Semua kalangan bisa,” katanya serius.
PR Julie satu lagi adalah menghimbau pemerintah untuk membuat hak paten tenun NTT. “Termasuk motifnya, supaya tidak ada lagi yang mengambilnya dan mematikan mata pencaharian penenun kita,” kata Julie serius.
Kerjasamanya bersama Kanaya Tabitha, diharap bisa menjadi salah satu solusi mimpinya. “Kanaya lagi cerita dia punya Rumah Pandai di NTT, dan saya cerita ini kerjanya seperti ini. Terus loh, ternyata bisa kolaborasi, dan untungnya dapet funding yang dari hand foundation itu. Jadi untungnya bisa kolaborasi untuk yang New York Couture Fashion Week ini,” katanya.
Pada saat yang sama, Kanaya juga berkomentar, “Kalau kak Julie ingin mempromosikan budaya NTT, kalau aku mau buat pengrajin-pengrajinku supaya kainnya dibeli, jadi arus airnya sama.” (baca: Sri Mulyani dan Cangkir Nyonya Selalu Benar)
“Saya hanya ingin memperkenalkan tenun NTT, saya melihat ada yang harus dilakukan untuk membantu, terutama perempuan di NTT. Saya merasa we need to do something, bukan di bisnisnya,” kata Julie
ASTARI PINASTHIKA SAROSA | SUSAN