TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua narsis menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Mereka mendorong anak untuk mahir berolahraga, berprestasi di sekolah, dan fotogenik. Selain itu, mereka meyakini anak-anak mereka spesial sehingga terkadang menolak menoleransi kekurangan.
“Mereka melihat anak sebagai bagian dari diri mereka, seperti kaki tangan mereka. Dan ketika anak tidak berhasil mencapai tujuan, kekecewaan mereka dilampiaskan dengan menarik kasih sayang bahkan memutus hubungan,” ujar Ramani Durvasula, profesor psikologi Universitas Negeri California, AS.
Fokus narsisisme ke pencapaian anak menciptakan sifat pada diri orang tua. Bahkan perang status di antara ibu-ibu—seperti ASI vs susu formula, ibu bekerja vs ibu di rumah, hingga vaksin vs nonvaksin—berakar dari penerapan pola asuh yang didasari sifat narsis.
“Kita menciptakan dunia di mana hampir tidak mungkin untuk sukses kecuali Anda seorang narsistik,” ujar Durvasula. Akan tetapi, perlu dipahami kompetisi tidak selamanya hal buruk.
Namun, Durvasula mengingatkan, agar tidak terjebak pada kompetisi yang bertolak dari sifat narsis, orang tua harus mampu mengimbangi kompetisi dengan empati dan kasih sayang terhadap anak. Doronglah anak untuk terus berprestasi, namun tekankan tujuannya untuk kebaikan anak, bukan agar anak dan Anda dipandang orang lain.
Jangan mengurangi kebanggaan apalagi kasih sayang jika anak tidak bisa memenuhi harapan Anda. Berempatilah terhadap perasaan anak dengan tidak memandang kekurangan mereka sebagai sebuah kesalahan yang menurunkan derajat Anda sebagai orang tua.
Baca juga:
Lika-liku Pernikahan Kirana Larasati hingga Berujung Perceraian
Demi Anak, Begini Trik Agus Ringgo Memilih Pekerjaan
Protektif, Begini Cara Heidi Klum Lindungi Anak dari Media