TEMPO.CO, Jakarta - Bagi para vanlifer, mereka yang tinggal dalam van, mobil adalah rumah mereka. Seperti tagar yang dipakai oleh Hutington, #livesimply, trend ini adalah bentuk ekstrem dari simple living yang dipraktikkan di banyak tempat, terutama Eropa. Simple living atau slow living ini bukan hidup malas-malasan, tapi adalah upaya untuk hidup cukup.
“It’s about working out what we simply can’t live without,” tulis Nathan Williams di bukunya Interiors for Slow Living.
Dengan demikian, bagi mereka tidak penting bagaimana menjejali van mereka dengan peralatan layaknya di rumah. Sebagian besar van mereka memuat perangkat seperlunya.
Tetap saja, interior van tersebut tidak terlihat rapi dan nyaman layaknya rumah, tapi mereka memiliki keyakinan untuk bisa hidup tanpa banyak hal yang menurut orang modern harus ada di dalam sebuah rumah.
Di sini gerakan #vanlife tidak hanya menyajikan keasyikan berpetualang dengan bebas, tapi juga mengajukan sebuah gaya hidup baru. Kemampuan mereka untuk hidup dalam mobil bukan karena di mobil itu ada semua peralatan yang biasa kita jumpai dalam rumah, tapi karena mereka siap untuk hidup secukupnya.
Perubahan konsep akan sebuah rumah. Dalam konsep konvensional, rumah berarti tempat di mana kita bisa tinggal secara permanen. Namun, bagi para vanlifer, konsep itu berubah. Rumah tak lagi harus permanen.
Penulis Pico Iyer mencoba menjawab hal itu. Iyer bukanlah vanlifer, tapi dia adalah orang yang terus menerus mempertanyakan home dan kampung halaman karena dia selalu berpindah. Dia yakin, ada 220 juta orang di dunia yang bernasib sama.
“Home for them is really a work in progress. It's like a project on which they're constantly adding upgrades and improvements and corrections. And for more and more of us, home has really less to do with a piece of soil than, you could say, with a piece of soul,” kata dia dalam TedTalks.
Rumah, bagi mereka, bukanlah tanah yang dipijak, tapi hati yang berlabuh. “Tentu saja, saat ada yang bertanya kepada saya, ‘Di mana rumahmu?’ Saya tidak akan menunjuk pada bangunan fisik. My home would have to be whatever I carried around inside me. And in so many ways, I think this is a terrific liberation,” kata Iyer.
“Kalau ada yang bertanya kepada saya, ‘Di mana rumahmu?’ Saya akan berpikir tentang kekasih saya atau sahabat saya atau lagu yang menemani saya saat bepergian. Merekalah rumah bagi saya.”
Alamat, kemudian, tak lagi berguna. Mungkin masih dibutuhkan secara administratif, tapi salah satu fungsinya sudah hilang.
“Dari mana kamu berasal, kini sudah semakin tidak penting dibanding ke mana kamu akan pergi. Semakin lama kita semakin berakar pada masa kini dan masa depan, bukan lagi masa lalu.”
“Dan rumah, kita tahu, bukan hanya tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan. Rumah adalah tempat di mana kita menjadi diri sendiri.”
Tapi Iyer pun mengakui bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang memamnggil-manggil untuk berdiam. Kerinduan purba untuk menetap dalam “gua” yang sunyi.
“Movement is a fantastic privilege,” kata dia di akhir ceramah.
“But movement, ultimately, only has a meaning if you have a home to go back to. And home, in the end, is of course not just the place where you sleep. It's the place where you stand.”
Berita lainnya:
Tyas Mirasih Menikah dengan Teman Dekat, Apa Plus Minusnya
Tom Holland Curhat Soal Kostum Spider-Man yang Bikin Tua
Tenun Ikat Sumba Jangan Digunting, Begini Alasannya