TEMPO.CO, Jakarta - Awalnya Githa Nafeeza berkarir sebagai pembawa acara di beberapa stasiun televisi nasional. Namun seiring berjalannya waktu, ia banting stir untuk meninggalkan dunia media dan terjun membangun bisnis food & beverages bersama sang suami, Sudjarwo Budiono, yang juga pemilik dan CEO perusahaan IT.
Ibu dari empat anak ini mengawali bisnis F&B dengan membuka restoran bernama Nafeeza Steak di bilangan Ampera, Jakarta, empat tahun lalu. Cukup dikenal luas, Nafeeza Steak menghadirkan beraneka macam menu mulai dari masakan Eropa hingga China.
Melihat lifestyle masyarakat urban yang berubah, concern pada kesehatan, memberikan ide baru pada Githa untuk menciptakan restoran baru. “Setelah satu tahun menjalankan Nafeeza Steak, saya dan suami melihat perkembangan masyarakat kini yang makin memperhatikan kesehatan. Selain itu dari segi pengelolaan, kami mencari yang lebih simpel,” katanya.
Shabu-shabu yang dikenal sebagai makanan sehat menjadi keputusan baru Githa untuk resto terbarunya. Shabu Hachi akhirnya hadir menggantikan usaha kuliner lamanya dengan konsep all you can eat. Menurutnya, resto shabu-shabu memberikan sajian makanan sehat dan konsep yang diusung Shabu Hachi dengan memasak sendiri hidangan yang dipilih menjadi pengalaman tersendiri. “Simple!,” ujar lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan Bandung dan S2 Prasetiya Mulia ini.
Shabu Hachi menyasar market menengah atas, tapi dengan harga dibawah resto all you can eat yang lain. Uniknya, resto ini diklaim menghadirkan pilihan daging yang ingin dikonsumsi, mulai dari Wagyu MB9+, US Premium, Australian Beef dan Imported Lamb Leg. Harga yang dipatok mulai Rp 148 ribu hingga Rp 389 ribu. Shabu Hachi menyediakan segala jenis daging, mulai dari yang biasa hingga spesifik daging tertentu.
Kualitas diperhatikan oleh Shabu Hachi mulai dari pilihan kuah yang dihidangkan tersedia beberapa rasa, original konbu, japanese broth, miso soup, hot miso, tom yam, stamina soup dan mongolian soup. Beberapa sayuran juga diimpor langsung, seperti horenzo, daun ginseng, sungiku, siomak, jamur enoki, dan jamur shitake. Untuk side dishes ada pilihan beef karage, chicken porridge, kimchi, garden salads, bubur kacang hijau, ketan hitam, rujak, aneka puding, dan sebagainya. Shabu Hachi juga menyediakan tambahan yakiniku grill untuk pencinta bakaran.
Bisnis F&B dipilih Ghita karena ia meyakini bisnis ini cukup kuat di kala krisis, trenya terus naik. Tantangannya adalah pemilihan bahan yang teliti. “Sayuran yang fresh sangat diperlukan oleh resto dengan konsep ini. Konsumen melihat langsung sayuran yang dipilih karena mereka memasaknya sendiri. Beberapa sayuran organik yang kita gunakan berasal dari pertanian lokal. Harus fresh, tidak boleh layu, begitu juga dengan daging. Kami memilih daging impor untuk konsumen,” jelasnya
Selain kualitas produk, Shabu Hachi mengedepankan customer care yang excellent tidak sekedar customer service yang dianggap cenderung pasif. Membantu pelayanan customer yang sudah lanjut usia, berbincang dengan customer menjadi beberapa contoh customer care yang dilakukan Shabu Hachi.
Seluruh gerai resto Shabu Hachi berdiri di lahan sendiri. Untuk satu gerai Shabu Hachi setidaknya ia harus berinvestasi di atas Rp 10 miliar. Dalam mengembangkan resto ini Githa tidak menggunakan sistem franchise, yang menurutnya kurang adil bagi partner karena harus membayar fee sebelum mendapat laba.
Segala upaya ini dilakukan untuk membangun brand Shabu Hachi di mata masyarakat. Faktor internal diberikan yang terbaik, hal itu memberikan pengaruh besar keluar melalui cerita pengalaman customer yang pernah ke Shabu Hachi. “Orang sekarang lebih percaya review, worth of mouth marketing customer yang puas. Kami membangun CRM (Customer Relationship Management) yang lebih personal bagi pengunjung,” katanya. Melalui sense of belonging yang mereka ciptakan, Shabu Hachi mereduksi biaya iklan dan itu menjadikan restonya selalu ramai.
Target ke depan, Githa akan membuka lima cabang baru Shabu Hachi. Untuk menjaga keberlangsungan bisnis, kuncinya adalah pengendalian untuk memantau ke gerai-gerai. Hal ini dilakukan oleh dirinya dan suami dan juga melakukan training leaders (store manager, supervisor, captain, kitchen head, asisstent captain) di setiap gerai Shabu Hachi.
Shabu Hachi dibangun olehnya dan sang suami dengan tekad dan kepercayaan yang kuat. Mereka tak mempekerjakan profesional dan konsultan. Gairahnya untuk terjun di bisnis terwujud lewat Shabu Hachi. “Kami belajar sendiri. Membeli banyak buku hospitality dan restoran. Membangun usaha ini seperti S3, semua harus detail. Rajin mencari resep dan mendiskusikan dengan chef, saya lakukan,” ujar wanita yang mengaku tidak bisa masak ini.
Baca juga:
Ariana Octavia, Inspirasi Baru Dunia Fotografi
Miss Internet 2017, Marsya Gusman : Internet untuk Semua
Anindya Kusuma Putri: Dari Miss Universe ke Juru Bicara Olahraga