TEMPO.CO, Jakarta - Penulis buku Perempuan Pemimpin, Betti Alisjahbana mengatakan kiprah perempuan di sektor publik atau berkarier di perusahaan terbilang besar. Entah pilihan atau tuntutan, sebagian dari mereka memiliki kinerja yang tak kalah bagus dari karyawan laki-laki. Buktinya, beberapa dari mereka berhasil menduduki posisi puncak atau jabatan strategis.
Mengutip survei LeanIn.org dan McKinsey Women in The Workplace 2016, jumlah perempuan yang bekerja mencapai 46 persen. Namun demikian, hanya 37 persen yang sampai level menejer, 33 persen menjadi direktur, dan kian ke atas maka jumlahnya menyusut. Misalnya, untuk posisi senior vice president sebesar 24 persen dan yang menduduki jabatan chief-suite hanya 19 persen. Baca: Jadi Wanita Karier Boleh Saja,Tapi Jangan Lupa Peran di Rumah
Lantas apa yang membuat perempuan sulit meniti karier. Betti Alisjahbana mengindikasikan dua penyebabnya, yakni ketika perempuan itu sudah menikah dan punya anak, serta saat waktu kerja tidak fleksibel. “Dua kondisi ini sebenarnya tetap bisa disiasati oleh perusahaan, sehingga karier perempuan tetap berjalan,” kata Betti. Baca juga: Ina Rachman: Uang Suami Uang Istri, Uang Istri ya Uang Istri
Bagi perempuan yang sudah punya anak, perusahaan bisa membuat tempat penitipan anak atau daycare di kantor atau mengatur waktu kerjanya. “Orang boleh bekerja kapan saja dan dari mana kapan saja yang penting hasil pekerjaannya sesuai harapan dan perusahaan tidak dirugikan,” katanya.
Betti yang menjabat Chief Executive Officer IBM Indonesia periode 2000-2008 mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang kebijakan perusahaan agar tak bias gender. “Dulu sering kali pimpinan perusahaan membuat aturan dengan asumsi sebagian besar pegawainya laki-laki,” kata Betti yang pernah menjadi panitia seleksi pimpinan KPK ini. Akibatnya, ada beberapa kebijakan yang menguntungkan laki-laki ketimbang perempuan.
Padahal prinsipnya, menurut Betti, perusahaan yang ramah perempuan adalah organisasi yang membuka peluang bagi laki-laki maupun perempuan secara struktural maupun fungsional. Berikut beberapa indikator perusahaan yang ramah perempuan seperti dituturkan Betti:
1. Tarif pajak yang seimbang
Laki-laki yang sudah berkeluarga memiliki tarif pajak yang berbeda ketimbang perempuan. Kendati perempuan itu sudah berkeluarga, punya punya anak, dan anak tersebut menjadi tanggungan dia, maka tarif pajak yang dikenakan kepada perempuan tersebut masuk kategori pajak untuk lajang.
2. Tunjangan kesehatan
Misalnya perusahaan suami menyediakan tunjangan kesehatan, dan di perusahaan istri memberikan tunjangan yang sama. Beberapa perusahaan mensyaratkan pasangan itu hanya boleh memilih satu tunjangan kesehatan saja.
Semestinya, menurut Betti, peraturan itu bisa dibuat fleksibel dengan cara jika asuransi kesehatan sudah ditanggung perusaahaan suami, maka istri tetap bisa menggunakan manfaat asuransi pendidikan di perusahaannya. “Jadi tidak tumpang tindih dan tetap bisa dirasakan manfaatnya,” katanya.
3. Kesempatan membuktikan diri
Betti mengatakan masih ada beberapa laki-laki yang mengira perempuan pasti tidak menyukai tugas lapangan. “Padahal belum tentu,” katanya. Dulu, Betti mengatakan, ada anak buahnya yang mengadu karena tidak diberi kesempatan untuk bekerja di lapangan sebagaimana karyawan laki-laki. Sementara dia sangat menginginkan pekerjaan itu.
“Intinya, kita harus memberikan kesempatan yang sama dan jangan berasumsi semua perempuan begini dan semua laki-laki begini,” ujar Betti. “Tanyakan kepada yang bersangkutan dan pahami keinginan dia dalam berkarier kemudian sesuaikan dengan karakter masing-masing individu.”
Betti melanjutkan, perusahaan yang ramah perempuan akan memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki maupun perempuan untuk maju dan berkembang. “Jangan mengambil stereotipe lagi karena sekarang perempuan dan laki-laki punya pilihan,” ucapnya.
RINI K