TEMPO.CO, Jakarta - Anak kerap berteriak dan menangis kencang tanpa sebab dan menyebabkan suaranya menjadi serak. Ini salah satu gejala anak menderita Sensory Processing Disorder (SPD) atau Gangguan Proses Sensoris. Pada balita, gangguan ini dikenal sebagai Gangguan Regulasi Pengolahan Sensori.
Gangguan Proses Sensorik (SPD) adalah suatu kondisi dimana tubuh dan otak memiliki kesulitan mengolah dan menanggapi rangsangan sensorik dari lingkungan. Beberapa orang dengan SPD hipersensitif terhadap suara keras atau makanan bertekstur yang berbeda, misalnya; atau mungkin gelisah oleh tekstur pakaian. Ada juga anak yang hampir tidak memberi respon apapun terhadap rangsangan dari luar.
Berdasarkan hasil penelitian, 5 - 16 persen anak-anak di Amerika Serikat menderita SPD. Namun sayang, tidak semua dokter memahami SPD, karena tidak termasuk dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
SPD sering ditemukan pada anak-anak dengan autisme, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan lain. The American Academy of Pediatrics mengatakan dalam sebuah pernyataan kebijakan 2012, bahwa masih belum jelas apakah anak-anak dengan masalah sensorik memiliki kondisi yang berbeda, atau apakah hal tersebut merupakan gejala gangguan perkembangan dan perilaku lainnya.
Karen Harpster, direktur penelitian terapi okupasi di Rumah Sakit Anak Cincinnati Medical Center, mengatakan terapis okupasi di rumah sakitnya mengobati puluhan pasien SPD setiap minggu. "SPD dapat mempengaruhi hanya satu rasa, seperti pendengaran, sentuhan atau rasa, atau beberapa indera," ujarnya.
Gangguan proses sensorik juga dapat mempengaruhi sistem vestibular tubuh, sehingga ia mengalami kesulitan dengan keseimbangan, atau sistem proprioseptif, cenderung kaku dan posisi tubuh.
Tak hanya pada anak kecil, orang dewasa pun dapat memiliki SPD, "meskipun masih kurang jelas karena mereka belajar cara untuk mengimbangi," ujar Harpster. Harpster mengatakan bahwa ia telah menangani anak dengan SPD yang berbakat secara akademis, tidak memiliki autisme atau gejala ADHD.
Di Cincinnati Children, perawatan ini disebut integrasi sensorik, di mana anak melakukan kegiatan bermain untuk membantu belajar memberikan respon yang sesuai. Anak-anak bermain rintangan dengan berbagai kegiatan sensorik, seperti ayunan untuk membantu gangguan keseimbangan. Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien beradaptasi agar mereka memberikan respon dengan lebih baik.
"Kami masih mengembangkan penelitian untuk mendukung pengobatan berbasis sensorik," kata Harpster. Program intensif umum di Cincinnati Children terdiri dari 3 sesi per minggu selama sekitar enam minggu, dengan frekuensi yang bervariasi.
Meskipun gejalanya dapat dikendalikan, namun kasus SPD tidak dapat disembuhkan secara total, demikian dikatakan Lucy Jane Miller, pendiri STAR Institute for Sensory Disorder Management, di Denver.
Di sini, pasien diajari bagaimana cara mengatasi gangguan. Program terapi instensif STAR sekitar 30 sesi durasi 1 jam setiap harinya selama beberapa minggu. Saat ini asuransi tidak dapat mengcover perawatan untuk SPD, karena gangguan ini tidak diakui. Sebagian besar terapi dibayarkan jika merupakan bagian dari diagnosis lain seperti autisme, ADHD atau kelemahan otot.
Dasar dari perawatan di STAR Institute adalah kegiatan bermain bersama orang tua. Anak-anak diletakkan di ayunan, jaring atau lubang bola dan diberikan rangsangan yang berbeda sehingga mereka dapat belajar untuk mendeteksi, mengatur dan menginterpretasikan sensasi dan motorik yang sesuai dengan respon perilaku.
"Anda mencoba untuk memberi mereka sensasi bermain bersama," kata Miller, ahli dalam terapi okupasi dan pendidikan khusus anak usia dini. Kebanyakan pasiennya berusia antara 3 - 7 tahun. STAR mulai bekerja dengan orang dewasa dengan SPD pada bulan Juli.
Perangkat elektronik menyebabkan anak-anak mengalami masalah sensorik, Dr. Miller mengatakan. "Anak-anak tidak bisa memasuki sistem sensorik mereka lagi. Mereka tidak lagi berguling-guling dan bermain, "ujarnya.
Tujuan terapi adalah membantu keluarga dalam membantu anak-anak agar lebih baik mengatur respons dalam menerima respon sensorik. Menurut Miller, anak-anak dapat menikmati sarapan, atau bersitegang dengan sang ibu di pagi hari. "Kami membuat gaya hidup sensorik untuk anak-anak agar mereka mendapatkan banyak sensasi sebelum mereka berangkat sekolah," ujarnya.
Studi struktur otak anak terdiagnosa SPD menunjukkan adanya gangguan dasar biologis, kata Pratik Mukherjee, ahli radiologi dan bioteknologi di University of California, San Francisco. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan SPD kurang berkembang sebagian besar materi putih di bagian belakang otak mereka dibandingkan dengan anak-anak normal. Daerah posterior otak adalah tempat pengolahan sensorik terjadi, ujarnya.
Penelitian tahun 2013 yang diterbitkan dalam jurnal online NeuroImage: Clinical, ini melibatkan 16 anak laki-laki dengan SPD dan 24 anak normal. Penelitian lanjutan,yang diterbitkan awal tahun 2016 oleh Frontier Neuroanatomy, menemukan hasil yang sama pada analisa dari 81 anak anak laki-laki dan perempuan. Mukherjee, penulis kedua penelitian ini mengatakan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah faktor biologis mempengaruhi SPD. "Hal ini menunjukkan ke arah itu," ujarnya.
Setelah terapi okupasi, anak yang suka mengamuk saat berada di tempat keramaian dengan lampu yang terang ternyata berhasil mengatasi masalah dengan keseimbangan dan posisi tubuh, selain hipersensitivitas sentuhan. Sesi terapi okupasi dimulai mingguan meliputi ayunan, latihan orientasi spasial dan alat peraga untuk menenangkan. Dengan terapi sensorik diharapkan si anak dapat merespon ransangan sensorik dalam aktivitas sehari-hari.
THE WALL STREET JOURNAL | DINA ANDRIANI
Baca juga:
Stop Bermain Ponsel dalam Gelap
Bolehkah Kita Mengkonsumsi Mie Instan?
Jangan Biarkan Anak Terpaku di Depan Televisi Lebih dari 3 Jam