TEMPO.CO, Jakarta - Tekstil adalah salah satu industri tertua dan sangat penting hingga saat ini di Indonesia. Contoh terbaik dapat dilihat pada batik, yang secara resmi dinyatakan oleh UNESCO sebagai warisan budaya.
Namun, dengan perkembangan industri fast fashion secara internasional, Indonesia pun menghadapi berbagai masalah kerusakan ekologi mikro-sistem dan sumber air. Ini disebabkan oleh sampah pewarna yang tidak terproses dengan baik untuk produksi tekstil.
Fast fashion sendiri didefinisikan sebagai fenomena tren fashion yang berganti dengan cepat dan diproduksi secara massal dengan konsep prét-à-porter atau siap pakai. Diprakarsai oleh ZARA sebagai label fast fashion pertama, industri ini ternyata menumbuhkan perilaku konsumtif pada masyarakat.
“Fast fashion langsung menjamur karena konsepnya yang berhasil membuat fashion adibusana menjadi murah dan mudah didapatkan oleh siapa pun,” kata Dr Claudia Banz, kurator dari Museum Seni dan Kerajinan Hamburg dalam pembukaan pameran bertajuk Fast Fashion - The Dark Side of Fashion oleh Goethe-Institut di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta, pada Kamis, 9 Maret 2017. “Akibatnya kita hidup dalam budaya konsumeris dan kecanduan fashion.”
Parahnya lagi, murahnya harga pakaian juga membuat perusahaan-perusahaan fast fashion mengabaikan kesejahteraan buruhnya. “Untuk sebuah baju seharga Rp 400.000, upah yang didapatkan buruhnya hanya sebesar 1 persen atau sekitar Rp 2500. Sisanya kebanyakan masuk ke pendapatan perusahaan dan bidang pemasaran," katanya lagi.
Di bidang ekologis sendiri, fast fashion menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup signifikan. “Sisa-sisa pewarna kimia baju akhirnya menjadi limbah dan merusak ekosistem,” kata Banz. “Ditambah pula, bahkan untuk memproduksi satu pakaian, dibutuhkan sekitar 1200 liter air bersih. Bayangkan berapa air yang dibutuhkan untuk memproduksi jutaan baju,” ujarnya lagi.
Dampak-dampak buruk dari industri fast fashion ini dipaparkan dalam pameran Fast Fashion – The Dark Side of Fashion, sebagai bagian proyek IKAT/eCUT oleh Goethe-Institut yang bertempat di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan.
Pameran ini mengungkapkan berbagai kerugian yang dialami oleh produksi masal industri fast fashion, dari sisi ekonomi dan kesehatan. Setelah sebelumnya diselenggarakan di Filipina, kali ini warga Jakarta dapat mengunjungi Pameran Fast Fashion yang digelar mulai 9 Maret hingga 9 April.
Selain mengajak pengunjung merasa ‘depresi’ dengan fakta-fakta mengenai dampak buruk fast fashion, Goethe-Institut juga akan mengajak mereka untuk melihat alternatif fast fashion dalam Slow Fashion Lab. Di dalamnya, pengunjung akan diberi bahan-bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil alih-alih menggunakan produk kimia yang membahayakan lingkungan. Pameran akan dibuka setiap hari mulai pukul 10.00 hingga 19.00.
ZARA AMELIA
Baca juga:
Ternyata Angelina Jolie Pernah Ukir Tato Cintanya pada Brad Pitt
Katy Perry Buat Sepatu Terinspirasi dari Teman
8 Gaya Busana yang Bakal Jadi Tren di 2017