TEMPO.CO, Jakarta - Donna Agnesia menceritakan bagaimana putrinya, Sabrina belajar bahasa asing. Menurut Donna yang juga duta lembaga kursus bahasa Inggris English First, Sabrina yang diajari multibahasa masih mencampuradukkan bahasa dalam berbicara. “My name is-nya Sabrina,” kata Donna menirukan jawaban anaknya yang berusia 3 tahun ketika ditanyakan namanya. Penggunaan “nya” diambil dari bahasa Indonesia.
Artikel terkait:
Darius Stres, Donna Agnesia Jadi 'Cheerleader'
Donna Agnesia Biasakan Buah Hatinya Sarapan Pagi
Apa Kata Donna Agnesia Soal Artis Merangkap Pelacur?
Menanggapi itu, psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli mengatakan, pencampuran bahasa atau code switching ini akan hilang ketika anak mencapai usia 5 atau 6 tahun. Menurut dia, kekhawatiran anak akan terlambat berbicara bila diajari lebih dari satu bahasa pada usia dini, tidak beralasan. “Itu info tahun 50, 60, dan 70-an,” kata Vera.
Ia menuturkan, teori perkembangan bahasa yang digagas ahli linguistik Noam Chomsky menyebutkan, di dalam otak manusia, terdapat program language acquisition device yang memungkinkan bayi melakukan analisis dan memahami aturan dasar bahasa yang mereka dengar. “Bayi memiliki kapasitas bawaan menguasai bahasa,” katanya.
Teori itu didukung pernyataan pakar lainnya, Francois Grosjen. Dalam buku berjudul Life as a Bilingual, ia mengatakan bayi yang berbicara dalam lebih dari satu bahasa tidak akan mengalami keterlambatan wicara. Menurut Roslina, keterlambatan wicara terjadi karena adanya ketidaksempurnaan biologis bayi yang berlangsung pada usia 0-36 bulan.
Roslina menjelaskan, fungsi bicara melibatkan kerja sama sistem saraf pusat dan area berpikir, seperti interpretasi bunyi, kemampuan verbal dan memori, serta aspek emosi dan sosial individu. Sebab itu, dia menyarankan orang tua memperkenalkan bahasa kepada anak-anaknya dari mulut sendiri, seperti melalui pembacaan dongeng, nyanyian, atau permainan. “Riset menunjukkan, pengenalan bahasa lewat gawai dan televisi diberikan setelah usia 36 bulan,” katanya.
Roslina meyakini kemampuan multibahasa dapat membentuk kemampuan anak beradaptasi lebih baik terhadap lingkungan. “Makin banyak bahasa, makin banyak emosi yang mereka pelajari terlibat di dalamnya. Dan, kalau salah-salah pun, anak tetap dipuji.”
Psikolog Tara Adhisti de Thouars punya pendapat lain. Dia mengatakan pendidikan multibahasa tidak dapat diterapkan kepada semua anak di usia dini. Alasannya, kemampuan dan kebutuhan berbahasa setiap anak berbeda. “Tidak semua anak memiliki kemampuan linguistik,” kata Tara.
Ia mengungkapkan, seorang bayi mulai belajar menangkap bahasa dan berbicara pada usia 1,5-2 tahun. Pada usia ini, anak sebaiknya diperkenalkan pada bahasa ibu. “Jangan dibikin bingung, pilih satu saja yang ingin dikuasai,” katanya.
Namun, bila dalam perjalanannya anak bisa menangkap dengan baik, pelajaran berbahasa dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan bahasa kedua. Hal itu yang dipraktekkan Tara kepada kedua anaknya yang mampu memahami bahasa Indonesia dengan baik dan juga tertarik menonton tayangan televisi berbahasa Inggris. “Karena saya melihat mereka dapat menangkap kedua bahasa, saya sekarang campur-campur dalam berbahasa,” katanya.
Namun ia pernah menangani pasien yang malah mengalami keterlambatan wicara setelah masuk kelompok bermain dengan pengantar bahasa Inggris. “Di rumah, anak itu cerewet karena menggunakan bahasa Indonesia, tapi menjadi pendiam di sekolah karena dia tidak mampu menangkap bahasanya,” katanya.
Kejadian itu menimbulkan masalah baru. Anak menjadi tertutup dan tidak percaya diri karena menganggap dirinya tidak mampu berbahasa Inggris. “Kita harus peka terhadap kebutuhan dan kemampuan anak. Jangan memaksakan bahasa Inggris, padahal orang tuanya berbahasa Indonesia,” ujarnya.
MARTHA WARTA SILABAN
Berita lainnya:
Suri Cruise, Tujuan Hidup Katie Holmes
Putri Raja Arab: Gila Belanja, Modis, dan Hampir Dipenjara
Anda Terlalu Cinta atau Justru Posesif Terhadap Pasangan?