TEMPO.CO, Jakarta - Media sosial dicurigai sebagai pemicu munculnya gangguan makan pada anak dan remaja. Meski belum ada penelitian yang membuktikan kecurigaan itu, beberapa psikolog menyebut media sosial telah menetapkan standar penampilan yang ideal melalui komentar penggunanya. Misalkan, langsing dan putih adalah sosok perempuan ideal. Sedangkan sosok ideal laki-laki adalah tinggi dan berotot.
Standar tersebut, menurut tim psikolog dari klinik LightHouse Indonesia, memicu gangguan makan pada anak dan remaja perkotaan. “Media sosial memperkuat bagaimana kita semua, khususnya remaja, mencari penilaian positif dari lingkungan,” kata Tara Adhisti de Thouars, Kepala Pusat Gangguan Makan LightHouse.
Artikel terkait:
Ingin Langsing? Nge-tweet-lah Hal-hal Yang Positif
Sudah Benarkah Diet yang Anda Jalani Selama Ini?
Aneka Campuran Mentimun yang Efektif Turunkan Berat Badan
Tara mengatakan banyak orang berlomba-lomba memenuhi standar sosial mengenai bentuk tubuh yang ideal, lalu membandingkan satu sama lain tanpa puas. “Apa yang dilihat di media sosial teman, artis, dan kerabat, serta komentar-komentar yang beredar mengubah pandangan mengenai fisik dan tubuh,” ujarnya.
Padahal tidak semua yang ditampilkan di media sosial adalah hal yang sebenarnya dari teman, artis, atau kerabat mereka. Namun penampilan di dunia maya itu telanjur memberikan dampak negatif terhadap anak dan remaja, yang berada dalam masa tumbuh kembang, pencarian jati diri, dan mencari penerimaan sosial.
“Akibatnya, mereka menjalani diet berlebihan, konflik terhadap makanan, haus pujian, dan akhirnya membuat mereka mengalami gangguan makan,” kata Tara. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan serius sejak dini akan berdampak seumur hidupnya.
Anindita Citra, psikolog dari LightHouse, menambahkan, gangguan makan termasuk salah satu gangguan mental. Di dalam kelompok gangguan makan terdapat anorexia nervosa (anoreksia atau menjauhi makanan), bulimia nervosa (memuntahkan makanan), dan binge eating disorder (kalap makan).
Selain itu, kata dia, ada lagi gangguan makan yang disebabkan emosi, seperti compulsive overeating (lapar mata), emotional eating (lapar hati), yoyo syndrome (berat badan turun-naik), dan social eater (dorongan makan muncul saat sedang bersama kerabat). “Pada sebagian orang, timbulnya gangguan makan merupakan gabungan dari beberapa faktor,” kata alumnus Universitas Indonesia ini. Bisa saja, ketika duduk di bangku SMP dan SMA, penderita mengalami anoreksia, lalu saat kuliah mengalami bulimia.
Tara mengatakan, perilaku ibu yang mengeluhkan tubuh gemuk atau banyaknya “cadangan lemak di perut” ketika bercermin berpengaruh terhadap anak perempuannya. “Anak perempuan yang mendengar akan berpikir, berarti cantik itu tidak boleh gemuk, ya,” tuturnya.
Psikolog Naomi Ernawati Lestari mengatakan, kebanyakan pasien yang datang ke klinik LightHouse dengan keluhan bulimia dan anoreksia adalah anak-anak, remaja perempuan, atau mereka yang berada di awal usia 20 tahun. “Tren sekarang mereka itu satu geng, lihat di TV atau googling sendiri untuk muntahin makanan setelah menyantap banyak,” ujar Naomi.
Ia mengatakan biasanya pasien yang datang ke klinik sudah mengalami gejala fisik, seperti kulit kering, rambut rontok, gigi keropos, dan menstruasi terhenti. “Kami sarankan mereka untuk berobat ke dokter karena secara fisik harus diobati,” katanya. Pada penderita anoreksia, kondisi fisik membaik, antara lain, bila kulit tidak kering dan menstruasi lancar. Sedangkan pengidap bulimia harus mengurangi frekuensi memuntahkan makanan.
Anindita bertutur, salah satu terapi psikologi yang memiliki tingkat sukses tinggi dalam menangani bulimia dan anoreksia pada anak dan remaja adalah Family Behaviour Therapy atau terapi yang melibatkan seluruh keluarga. “Karena mereka masih belum matang, labil.”
Penanganan dilakukan bertahap dari tiga bulan, meliputi penanganan dari sisi kepribadian, perilaku atau kebiasaan, emosi, dan pola pikir. Beberapa terapi yang dianjurkan adalah:
1. Family Behaviour Therapy
Terapi ini memiliki tingkat sukses yang tinggi untuk menangani gangguan makan pada remaja dan anak. Terapi ini melibatkan semua anggota keluarga dalam proses pemulihannya.
2. Cognitive Behaviour Therapy
Terapi ini biasanya diterapkan pada orang dewasa agar kembali ke pola makan yang benar. Penderita gangguan makan memiliki pola pikir yang salah terhadap penampilan, tubuh, dan diri sendiri.
3. Hipnoterapi
Hipnoterapi dilakukan untuk mengubah pikiran bawah sadar yang berkontribusi pada kebiasaan makan yang salah.
4. Relaksasi
Terapi ini diperlukan untuk mengatasi emosi negatif yang berlebihan.
5. Eating coaching
Pelatihan tersebut dilakukan dengan mendampingi penderita gangguan makan. Alat bantunya berupa sendok dan garpu. Penderita dilatih mengatur kecepatan menyantap makanan dan cara menyuap.
MARTHA WARTA SILABAN
Berita lainnya:
8 Tip untuk Mengurangi Pipi Tembam
Menikmati Semangkuk Keju Raksasa di Asia Restaurant
Putri Raja Arab: Gila Belanja, Modis, dan Hampir Dipenjara