TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan asuransi kesehatan harus didahulukan ketimbang asuransi jiwa. Terlebih bagi karyawan yang memiliki profesi berisiko tinggi, misalnya, pemeran pengganti dalam film (stuntman), wartawan, atau jurnalis foto.
Konsultan keuangan dan pengembangan karier yang juga seorang psikolog, Bertha Sekunda, mengatakan pentingnya asuransi kesehatan untuk mendukung kenyamanan dan profesionalisme kerja. Dia membenarkan asuransi kesehatan biasanya sudah disediakan oleh perusahaan tempat seorang karyawan bekerja. Termasuk pula di dalamnya ada Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Hanya saja, menurut Bertha, ada beberapa asuransi milik perusahaan yang dianggap tidak berfungsi penuh. "Misalnya, asuransi tersebut menanggung beberapa jenis penyakit saja," katanya. Selain itu, plafon asuransi kesehatan di sebuah perusahaan biasanya disesuaikan dengan usia atau masa kerja, dan lebih sering lagi disesuaikan dengan golongan atau jabatan karyawan. Semakin tinggi posisi karyawan, semakin tinggi plafon asuransinya.
Asuransi kesehatan yang baik, menurut Bertha, harus dapat menutup biaya perawatan bagi penyakit berat, seperti jantung, kanker, atau stroke. Asuransi kesehatan yang baik juga harus dapat membiayai pengobatan penyakit yang berkaitan dengan gender. "Karena kadang ada asuransi kesehatan perusahaan yang tidak menutupi biaya berobat selama kehamilan dan melahirkan," ujar Bertha.
Bertha mencontohkan, asuransi ideal berbasis gender di beberapa negara Eropa mulai membedakan jumlah premi asuransi kesehatan untuk perempuan pada usia 25-35 tahun dengan yang berusia di atas 35 tahun. Jumlah premi ini dibedakan karena perempuan di atas usia 35 tahun rentan dengan penyakit yang berkaitan dengan kelainan hormon.
Konsultan keuangan, Mega Sari Sugiarti, sependapat dengan Bertha. Menurut dia, asuransi kesehatan yang ideal adalah asuransi yang dapat menutup segala kebutuhan secara luas. "Pegawai harus memiliki asuransi yang cukup untuk menutupi risiko di dalam dan di luar kantor," ujarnya.
Yang dia maksud, asuransi kesehatan tersebut harus dapat membiayai semua jenis kebutuhan pengobatan, misalnya, termasuk sakit kritis, rawat inap, ICU, kunjungan dokter, biaya perawatan rumah sakit, serta pengobatan setelah diagnosis sakit kritis, "Seperti cuci darah, kemoterapi, dan sebagainya," kata Mega.
Dia juga membenarkan banyak asuransi kesehatan yang disediakan sebuah kantor tidak mencakup semua hal di atas. "Karena itu, sebaiknya setiap karyawan memiliki asuransi sendiri. Jangan bergantung pada perusahaan tempat bekerja," katanya.
Asuransi kesehatan tambahan di luar asuransi yang disediakan kantor, menurut Mega, guna berjaga-jaga. Bisa saja di tengah masa kerja seorang karyawan mengundurkan diri, mengalami pemutusan hubungan kerja, atau memasuki masa pensiun. "Setidaknya mereka punya proteksi untuk diri mereka sendiri," ujarnya. Tapi tentu saja pemilihan asuransi tambahan ini harus mempertimbangkan besaran penghasilan karena terkait dengan kemampuan membayar premi.
Berita lainnya:
Bila Karier Mandek
7 Rasa Bersalah pada Ibu Hamil
Fashion Show Desainer Lokal dan Mancanegara Buka IFW 2017