TEMPO.CO, Jakarta - Membelanjakan uang untuk kebutuhan dasar seperti pangan dan sandang adalah sesuatu yang wajar. Tapi, ada juga pengeluaran yang disebut dengan 'faktor latte' yaitu pengeluaran–pengeluaran kecil untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, namun dilakukan berulang kali.
Contoh gaya Latte itu adalah membeli kopi di kedai ternama setiap hari atau membeli aksesoris baru setiap bulan. Bahkan 'latte style' juga hadir tanpa sadar di rekening bank berupa biaya-biaya dari berbagai transaksi perbankan.
Padahal, ketika dihitung–hitung, pengeluaran 'faktor latte' ini cukup besar. Berdasarkan data yang didapatkan Permata Bank, 9 dari 10 orang mengeluarkan lebih dari Rp. 900 ribu perbulan demi 'latte style'.
Data dari Bank Permata itu sejalan dengan hasil survei ”Share of Wallet” oleh Kadence International Indonesia. Survei tersebut menunjukkan masyarakat Indonesia menabung rata-rata hanya 8 persen dari pendapatannya dan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk di dalamnya hal-hal berupa 'faktor latte'.
Psikolog Anjeng Raviando menanggapi gaya hidup ini dengan alasan generasi millennial yang dari kecil sudah dimanjakan dengan kecanggihan teknologi diikuti dengan tren yang sedang berlangsung. "Kebiasaan ini membuat mereka tidak dapat menahan keinginan untuk mendapatkan sesuatu secara cepat tanpa berpikir panjang," katanya. "Akibatnya, mereka kerap mengeluarkan uang untuk barang-barang yang sekedar memuaskan nafsu atau mengikuti tren yang sedang berlangsung."
Kebiasaan 'faktor latte' juga diamini oleh aktor Hamish Daud yang mengatakan dulu dia sering sekali makan di restoran mewah dan belanja yang tidak terlalu penting. Tanpa sadar, pengeluaran untuk hal tersebut membengkak. "Saya belajar sayang uang dan mulai mengurangi pengeluaran serta menyisihkan pendapatan untuk ditabung," katanya.
Direktur Retail Banking Permata Bank, Bianto Surodjo, mengatakan perusahaannya menemukan yang paling sulit dikontrol oleh konsumen saat ini adalah mengatur pengeluaran yang kecil-kecil namun sering dilakukan. "Masalah konsumerisme yang dihadapi oleh masyarakat sekarang ini bukanlah karena uang itu sendiri," ujarnya.
'Faktor latte' dipopulerkan oleh seorang penulis finansial, motivator, wirausaha, dan pendiri FinishRich.com, David Bach. Dalam ilustrasinya, kata 'faktor latte' muncul karena kebiasaan masyarakat untuk membeli kopi latte tiap pagi.
Hasil riset dibagi menjadi dua kategori, lajang dan menikah. Bagi yang masih lajang, pengeluaran latte terbesar adalah pembelian baju atau aksesoris sebesar 60 persen, diikuti dengan pembelian makanan dan minuman ringan sebesar 14 sebesar. Sedangkan bagi yang sudah menikah pengeluaran latte terbesar sebanyak 56 persen ada pada pembelian pakaian dan aksesoris, baik untuk sendiri maupun anggota keluarga, dan 17 persen untuk taksi atau transportasi online.
BISNIS
Artikel lain:
5 Cara Jadikan Senin Hari yang Favorit
Hindari 3 Warna ini Saat Wawancara Kerja
7 Alasan Karyawan Berprestasi Memilih Keluar