TEMPO.CO, Jakarta - Setelah menikah, tujuan selanjutnya dari sebuah pernikahan ada memiliki momongan. Ketika anak pertama lahir, dunia terasa indah. Anda dan suami sibuk merawat, membesarkan dan mendidik si sulung.
Namun dunia seketika berubah ketika si adik lahir sebagai anak kedua. Orang tua mulai khawatir jika si kakak merasa dikucilkan karena kedua orang tuanya lebih perhatian pada sang adik. Efeknya, perhatian pada si adik pun berkurang.
Baju-baju kebanyakan lungsuran kakaknya--kalau keduanya berjenis kelamin sama. Pulang kerja pun, anak pertamalah yang mendapatkan pelukan pertama.
Anggia Chrisanti, konselor dan terapis DEPTH (deep psych tapping technique) di Biro Konsultasi Psikologi Westaria yang juga banyak menangani kasus anak-anak di Kemensos, menguraikan beberapa poin yang menyadarkan.
#Si Sulung
Anak sulung sejatinya tipikal dengan anak tunggal. Berapa pun lama atau sebentar, dia anak tunggal selama belum punya adik. Apalagi dengan harapan-harapan besar, persiapan dan kehebohan menyambutnya, termasuk (secara otomatis) pemanjaan (baca: pemenuhan yang cenderung berlebihan), akan didapatkan dan dirasakan si sulung saat menjadi anak tunggal itu.
“Maka, hampir pasti pula dia adalah anak emas pada masanya. Pada saat itu, semua terasa baik-baik dan sah-sah saja. Tidak ada yang salah,” buka Anggia.
#Anak Kedua
Hingga datang adik baru alias si anak kedua. Semua hal menyenangkan yang diterima dan dirasakan sebagai anak emas mulai terancam, bahkan sejak adik masih di dalam kandungan. Oleh karenanya, muncul naluri superioritas pada anak pertama. Yaitu ketika anak sulung akan berusaha lebih menguasai dunianya agar tidak diambil alih adiknya.
“Sayangnya, tanpa sadar, orang tua yang khawatir berlebih—mengenai anak sulung yang akan cemburu dengan kehadiran adik—justru malah semakin menegaskan bahwa perhatian lebih diarahkan kepada si sulung. Yang notabene sudah pernah mendapatkan segalanya, sejak sebelum dilahirkan hingga saat adiknya lahir,” ujar Anggia. “Sikap orang tua inilah yang tanpa sadar menjadikan kondisi anak kedua selalu menjadi yang kedua atau dinomorduakan,” sambungnya.
#Tidak Spesial
Dengan alasan ingin membuat nyaman si kakak, ingin agar kakak tidak cemburu, anak kedua seolah sengaja dibuat agar tidak spesial. “Semuanya harus berbagi dengan kakaknya, yang padahal telah mendapatkan semuanya sejak sebelumnya,” Anggia menjelaskan.
#Sang Kompetitor
Itu sebabnya, dalam keseluruhan hidupnya, dalam alam bawah sadarnya, terbentuklah jiwa atau nurani kompetitor. Anak kedua selalu terdorong untuk berkompetisi, bahkan dalam hal sekecil apa pun. Karena untuk mendapatkan apa pun, dia selalu harus berbagi dengan kakaknya. Dan semakin parah ketika kemudian harus mengalah dengan adiknya, jika ada anak ketiga nantinya.
Anak kedua juga hampir tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Anak kedua cenderung selalu dibandingkan (baik secara sadar atau tidak) dengan kakaknya atau adiknya. Hal ini, pada skala yang lebih luas, akan berpengaruh pada kehidupan sosialnya kelak.
“Sehingga tidak mengherankan, kemudian terkenal sebutan bagi anak kedua sebagai troublemaker (pencari masalah). Padahal dia hanya merasa harus berkompetisi dengan siapapun untuk mendapatkan atau mempertahankan apa pun yang menurutnya adalah haknya,” urai Anggia.
#Sayang Anak
Jadilah orang tua yang sayang anak. Semua anak. Tanpa membedakan. Berikanlah hak masing-masing. Jika si kakak pernah, boleh, dan sah menjadi anak emas, mengapa anak kedua tidak boleh? Jika anak pertama pernah mendapatkan kehidupan pribadinya yang hanya miliknya, mengapa anak kedua tidak bisa? Gunakanlah prinsip customer service, misalnya, di sebuah bank.
“Seorang customer service akan tetap memberi pelayanan prima kepada setiap klien walaupun itu adalah klien ke-1.000 di hari itu. Dengan senyum yang sama, sikap baik dan keramahan yang sama, kesabaran yang sama dalam menjawab pertanyaan, seolah itu adalah klien pertama. Jangan sampai terjadi sebaliknya, seperti kurang motivasi, malas-malasan, apalagi tidak mood menghadapi pelanggan ke-1.000 itu tadi,” beri contoh Anggia.
Nah, orang tua pun harusnya seperti itu. Perlakukan semua anak, walaupun anak ke-11, dengan kasih sayang, kesabaran, perhatian, antusiasme, dan kegembiraan yang sama seperti ketika mendapatkan anak pertama. Karena bagi anak-anak ini, baik anak kedua dan berikutnya, kehidupan mereka baru dimulai saat mereka lahir. Mereka punya hak yang sama dari nol, bukan kemudian hadir hanya untuk melengkapi kehidupan kakak-kakak atau adik-adik.
“Setiap anak punya kehidupan sendiri, haknya masing-masing. Harus diberikan sama, sesuai kebutuhannya, sesuai porsinya. Jangan dibedakan kecuali Anda ingin anak Anda menjadi 'berbeda',” pungkas Anggia.
Baca juga: