TEMPO.CO, Jakarta - Hampir semua etnis Tionghoa di mana pun berada merayakan malam tahun baru Imlek. Biasanya dirayakan dengan makan bersama keluarga di rumah. Tak terkecuali komunitas Tionghoa Islam di Indonesia.
"Imlek itu bukan perayaan ritual tetapi bagian dari budaya," ujar Muhammad Ramdhan Effendi alias Anton Medan, Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, kepada Tempo. "Kami, muslim Tionghoa, juga menghargai budaya nenek moyang tanpa merusak akidah."
Selain bagi-bagi rezeki melalui angpau juga ada hidangan khas Imlek untuk menjamu kerabat. Setidaknya ada 5 hidangan khas Imlek. Menu wajib adalah bakmi—biasa disebut siu mie—yang melambangkan panjang umur, kebahagiaan, dan rezeki melimpah.
Kedua adalah bandeng yang menyimbolkan rezeki dan keberuntungan. Lalu, pangsit atau jiaozi yang berbentuk seperti uang di masa Dinasti Qin adalah makanan wajib selanjutnya. Dan pencuci mulutnya adalah jeruk. Sebab, warnanya yang kuning keemasan dipercaya lekat dengan kemakmuran dan kekayaan.
Penutupnya berupa manisan delapan rupa yang disusun di tatakan segi delapan. Delapan melambangkan kemakmuran, kekayaan. Manisan ini terdiri atas buah-buahan dan biji-bijian, seperti biji teratai, yang banyak dijual jadi di supermarket.
Para Tionghoa muslim itu mengatakan kualitas rasa tidak menurun meski babi tercerabut dari masakannya. Rasa khas oriental dari bawang putih dan gurihnya saus tiram tetap kentara. "Bumbunya sama," kata Sias. Keluarganya pun tak ada yang protes.
Yusman Irwansyah, pengurus Masjid Lautze—masjid bernuansa Cina di Pasar Baru, Jakarta Pusat—mengatakan tidak ada salahnya muslim merayakan Imlek. "Asal yang haram tetap dijauhi," kata dia. Sejumlah pengurus masjid pun, dia menambahkan, kerap mengadakan open house saat Imlek demi menjalin silaturahmi.
Berita lainnya:
Tip Mengolah Ikan Gurame, Bawal, dan Bandeng
Nikmatnya Mie Pangsit Berselimut Keju di Surabaya
Resep Pangsit Kakap dan Jamur