TEMPO.CO, Surabaya - Yusti Probowati, 52 tahun, memiliki perhatian khusus terhadap narapidana anak-anak. Perhatian itu ia wujudkan dengan membangun Rumah Hati, rumah singgah bagi narapidana anak yang dia dirikan di Jombang, Jawa Timur. Guru besar psikologi forensik pertama di Indonesia ini mendirikan Rumah Hati pada 2011.
"Kami berharap di rumah itu selalu ada hati kami bersama hati anak-anak untuk belajar tentang hidup," katanya Rabu, 21 Desember 2016.
Bermula dari keprihatinannya akan kondisi lembaga pemasyarakatan anak di Blitar, Jawa Timur. Sejak 2003-2010, ibu dua anak ini bolak-balik dari Surabaya ke Blitar hanya untuk memberikan pendampingan psikologi di sana.
Berdasarkan catatannya, jumlah narapidana anak di Lapas Anak Blitar pada 2003 ada sebanyak 80 anak. Tapi kini sudah hampir mencapai 400-an lebih. "Jumlah mereka semakin banyak dan akan menjadi bom waktu. Kalau hal itu tidak ditangani secara serius, 10 tahun mendatang mereka akan jadi kriminal dewasa," kata Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu.
Berbekal ilmu psikologi forensik yang ia tekuni sejak menempuh kuliah S2 di Universitas Gajah Mada dan dibantu sahabatnya dari Swiss, Margret Rueffler, serta beberapa dosen Ubaya, ia mendirikan Rumah Hati. Sebelum itu pada 2009, Yusti mencoba memberikan pelatihan kepada petugas lapas di lapas anak di Blitar, Tangerang, Kutoarjo, dan Karangasem (Bali). Namun upayanya itu tak menyelesaikan masalah yang cukup berarti.
Atas bantuan dana lembaga non pemerintah (NGO) dari Jerman, Kindernothilfe, akhirnya Rumah Hati terwujud. "NGO-nya ngomong rasa-rasanya yang menjadi masalah adalah bagaimana setelah mereka keluar dari lapas," katanya. Menurut dia, Rumah Hati perlu didirikan karena pendampingan psikologi tidak banyak diberikan penghuni lapas anak. "Akhirnya kami kemudian mengembangkan terapi apa yang bisa diterapan untuk anak-anak lapas," tutur dia.
Di Rumah Hati, para narapidana anak diberi perhatian dan pelatihan kedisiplinan. Yusti menempatkan mereka sebagai korban. Anak-anak itu umumnya berasal dari keluarga yang kurang harmonis dan berada di lingkungan yang tak mundukung. Dia mencontohkan mayoritas anak itu, orangtunya bercerai atau ibunya bekerja di luar negeri dan ayahnya menghilang entah ke mana. Akibatnya, mereka tumbuh liar karena tidak mendapatkan perhatian dan tata nilai yang baik dari keluarga.
Pada awalnya mereka menabrak aturan sekolah, selanjutnya aturan masyarakat, dan pada akhirnya melanggar aturan negara. Untuk mengatasinya, Yusti berujar, mereka mesti dididik aturan, misalnya bangun pagi, mandi sehari dua kali, atau salat tepat waktu. "Dan itu berat banget bagi mereka," ujarnya.
Di samping itu, mereka dilatih kemampuan sebagai bekal hidup ketika keluar dari Rumah Hati. Mereka diajari membuat pelbagai kerajinan tangan, membuat kue, pelatihan bengkel, reparasi telepon seluler, pijat, desain dan komputer. Mereka juga harus tetap belajar di sekolah. Bagi mereka yang enggan bersekolah, bisa mengambil kejar paket. "Itu semua kami berikan agar kelak setelah keluar dari Rumah Hati mereka bisa diterima oleh masyarakat," tutur Yusti.
Yusti menjelaskan, dalam konsep ilmu psikologi, perilaku anak lebih mudah diubah daripada orang dewasa. Karena itu dia membuat rumah singgah untuk anak. Walaupun demikian, dalam prakteknya tidak gampang. Dia menyebut keberhasilan alumnus Rumah Hati menjadi lebih baik berkisar 75-80 persen. "Penyebanya banyak hal. Di antaranya tidak adanya dukungan dari keluarga dan pengaruh lingkungan keluarga dan teman-temannya," kata Yusti.
Sebagai bahan evalusi program tersebut, tiap tahun Rumah Hati mengundang para alumninya. "Biasanya pas lebaran Idul Fitri mengadakan temu alumni," katanya. Bentuknya seperti terapi kelompok, mereka menceritakan keberhasilannya kembali berbaur dengan masyarakat. Yusti mengatakan, hal itu diperlukan lantaran sulitnya mereka masuk ke dalam masyarakat. "Saya kembali termotivasi ketika mereka sudah ada yang bekerja, menikah, dan punya anak," ucap Yusti.
Namun begitu, kegagalannya membuat alumni penghuni Rumah Hati menjadi lebih baik kadang menurunkan semangatnya. "Kadang kalau saya pikir berat juga, tapi saya pikir daripada tidak ada orang yang peduli dengan mereka. Saya melakukan apa yang saya bisa," ujarnya. Di samping itu, apa yang ia lakukan itu sebagai ikhtiarnya untuk membuat teknis, strategi, dan sistem yang dibangun untuk penanganan anak model tersebut.
Alasan lain yang membuat Rumah Hati tetap berdiri adalah belum adanya tempat bagi narapidana anak yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa anak usia 12-18 yang melakukan tindak pidana di bawah ancaman 7 tahun, ia tidak harus diselesaikan lewat kepolisian. Ia bisa didiversi atau dimediasi untuk diletakkan suatu tempat. "Persoalannya pemerintah sampai saat ini tidak punya itu," Yusti berujar.
Persoalan Rumah Hati tidak berhenti di situ. Selepas lembaga nonpemerintah dari Jerman tidak lagi membiayai Rumah Hati, sejak 2014 lalu Yusti harus membiaya sendiri Rumah Hati yang dihuni 4-5 anak per enam bulan. Sejak berdiri hingga sekarang, tak kurang 60 anak pernah menjadi penghuni Rumah Hati. Untuk membiayai Rumah Hati, selain dari donator, "Kami menjual seminar atau workshop. Semua hasilnya untuk rumah hati."
Mendatang, Yusti tidak berencana menambah rumah singgah baru di tempat lain karena dia merasa cukup berat menangani satu rumah singgah. Yusti berharap ke depannya pemerintah membuat model rumah seperti Rumah Hati sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Selain itu, "Harus ada terapi atau intervensi psikologi di dalam lapas. Karena lapas di luar negara selain ada sosial worker dan psikeater, juga ada psikolog."
Di luar itu semua, Yusti, yang lahir dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai hakim, sehingga ia tertarik mendalami bidang psikologi forensik dan mendapat gelar doktor satu-satunya di bidang tersebut dari UGM, akan selalu mengamalkan ilmunya untuk Indonesia. "Untuk dukungan keluarga tidak ada masalah," kata perempuan kelahiran Probolinggo itu.
NUR HADI