TEMPO.CO, Jakarta - Tujuan para praktisi kesehatan sejatinya menyelamatkan jiwa dan merawat kesehatan pasien. Dokter, perawat, dan seluruh elemen yang terlibat harus bekerja sama untuk memberikan pelayanan terbaik. Namun yang terjadi di lapangan, para tenaga medis kerap menemui tantangan sehingga sulit bagi mereka untuk menyelesaikan tugasnya.
“Hampir sebagian besar kematian pada pasien syok atau kejang di ICU terjadi karena kegagalan tim medis untuk memasukan infus,” kata Yohanes W.H. George, dokter spesialis anastesi dan perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, dalam konferensi pers Teknologi Medis dari Masa ke Masa, Kamis, 8 Desember 2016.
Yohannes mengatakan memasang infus pada pasien yang sedang shock atau kejang-kejang perlu penanganan yang sangat hati-hati. "Kalau salah, pembuluh darah bisa pecah dan akhirnya terjadi pendarahan. Tidak bisa sembarangan," katanya.
Untungnya, kesulitan itu bisa diatasi seiring dengan perkembangan teknologi di bidang kesehatan. Namun sudah sampai sejauh mana perkembangan teknologi medis sampai saat ini?
Pertanyaan tersebut sedikit terjawab setelah Rumah Sakit Pondok Indah menggelar konferensi pers soal itu. Di sana, beberapa dokter yang ahli di bidangnya menjelaskan sudah secanggih apa teknologi medis di Indonesia sekarang dan apa pengaruhnya.
“Diagnosis memerlukan kecepatan dan keakuratan yang tinggi. Sekarang, dalam hitungan detik saja pemeriksaan sudah dapat diketahui hasilnya,” ujar Luqman Adji Saptogino, dokter spesialis radiologi kedokteran nuklir dari Rumah Sakit Pondok Indah. Dia mengatakan, teknologi medis terbaru dapat sangat membantu pencitraan organ tubuh, pembuluh darah, dan jaringan otot.
Tidak hanya itu, proses ultrasonografi atau USG untuk memeriksa kondisi janin juga telah mencapai tingkat 4 dimensi, tadinya hanya dua dimensi saja. Azen Salim, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, sekaligus konsultan fetomaternal RS Pondok Indah menjelaskan, walaupun disebut 4 dimensi, sebetulnya dimensi keempat tidak ada.
“Itu hanya strategi pemasaran saja,” kata Azen sambil bergurau. Meski demikian, dia tidak menyangkal kemudahan yang tim medis dapat dari USG 4 dimensi tersebut.
Dalam presentasinya, Azen menunjukan perbedaan antara USG 2 dimensi dan 4 dimensi. Di situ, secara gamblang dijelaskan berbagai macam kelainan janin dari luar hingga struktur tulang dapat terlihat jelas.
Menurut Azen, teknologi USG sekarang juga dapat memudahkan perawat untuk memasukan infus kepada pasien yang sedang shock atau kejang. Jadi, kejadian yang telah disebutkan di atas tipis kemungkinannya untuk terjadi lagi.
Bidang lain yang sudah memiliki teknologi canggih adalah penanganan pasien ICU. Sekarang, tersedia alat yang dapat mencuci darah pada pasien yang kondisinya tidak stabil, mengeluarkan racun dari peradangan sistemik dan cairan berlebih akibat kesalahan kalkulasi asupan—semua dalam satu alat. Namanya Continuous Renal Replacement Therapy.
“Kalau sebelumnya ICU hanya tempat yang isinya doa saja, sekarang tidak lagi,” kata Yohanes. Dia menegaskan, sesungguhnya ICU memang bukan tempat bagi orang yang tidak punya harapan—tetapi justru sebaliknya. “Sekitar 70 persen orang yang masuk ICU di Amerika Serikat, kasusnya masih dapat ditangani,” ujarnya.
Alat tersebut juga memungkinkan untuk membersihkan bakteri dan virus tertentu dengan menaruh filter antibiotik di dalamnya. Kita semua tahu, obat buatan, apa pun jenisnya pasti punya efek samping, begitu kata Yohanes. Namun dengan adanya filter antibiotik ini, perawat medis tak perlu lagi memasukan antibiotik ke tubuh pasien, sehingga efek sampingnya yang dapat merusak organ dalam dapat ditiadakan.
Teknologi canggih juga menyentuh pengobatan nyeri lutut. Andre Pontoh, dokter spesialis bedah ortopedi dari Rumah Sakit Pondok Indah menyatakan saat ini proses operasi lutut hanya butuh waktu satu jam. "Waktu pemulihan pasien hanya satu hari,” ucapnya.
Hal ini dimungkinkan karena sekarang operasi lutut sudah dibantu dengan komputer, sehingga akurasi dan proses pemeriksaannya sudah sangat terbantu. Di lain sisi, akurasi tersebut juga meminimalisasi risiko komplikasi. “Tetapi kalau salah mengoperasikan justru pasien akan banyak mengalami patah tulang atau komplikasi lainnya,” ujarnya. Namun dia mengingatkan, secanggih apapun teknologinya, tak akan bagus bila orang yang mengoperasikannya kurang kompeten.
BRIAN HIKARI | NN
Berita lainnya:
6 Keuntungan Punya Bos Lelaki
Stres, Dengarkan 10 Lagu Penghilang Cemas
Perut Kosong, Jangan Menyantap Makanan dan Minuman Berikut