TEMPO.CO, Jakarta - Mendongeng tidaklah gampang. Dalam mendongeng pemilihan cerita harus selektif, menarik, dan bermanfaat. Kita bisa mengambil bahan dongeng dari cerita rakyat Indonesia.
Dulu mendongeng disampaikan oleh orang tua, kakek, atau nenek sebagai pengantar tidur bagi anak dan cucu mereka. Aneka kisah diceritakan tanpa teks secara berulang. Anak-anak dulu pasti tak asing dengan dongeng Si Kancil, Bawang Merah dan Bawang Putih, Sangkuriang, Si Malin Kundang, Keong Mas, atau Timun Mas.
Sekarang dongeng disampaikan dengan cerita yang sudah berbeda. Cerita rakyat yang diperdengarkan turun-temurun mulai menghilang. Anak-anak modern tak begitu mengenal lagi cerita dan tokoh-tokoh dongeng tradisional yang merupakan bagian dari kekayaan literasi Indonesia.
Ariyo Zidni, pendiri komunitas Ayo Dongeng Indonesia, mengungkapkan alasannya mengangkat cerita rakyat Indonesia dalam pergelaran Festival Dongeng Internasional Indonesia 2016 pada 5-6 November lalu. "Kami ingin kita semua bisa merasakan 'cerita Indonesia' yang sesungguhnya dalam festival ini," ucap Ariyo.
Mengangkat cerita Indonesia merupakan upaya memenuhi rasa rindu terhadap kekayaan cerita dari negeri sendiri. Juga mengenalkan cerita-cerita tersebut kepada anak-anak. "Satu cerita yang dibagikan senilai dengan satu tradisi yang melampaui generasi," tuturnya.
Dalam kegiatan itu, puluhan pendongeng dari berbagai daerah dan luar negeri berkumpul. Mereka membawakan cerita rakyat Nusantara dari Timur hingga ke Barat. Mama Fanny termasuk salah seorang pendongeng yang ikut berpartisipasi. Wanita dari Maluku itu untuk pertama kalinya datang mendongeng di Jakarta.
Selama dua hari, ia membawakan dua cerita rakyat, yakni dongeng Jangkrik dan Belalang serta dongeng asal Maluku, Nenek Luhu. Di kota asalnya, di Ambon, Fanny dikenal sebagai pendongeng legendaris. Ia kerap mengisi acara mendongeng ataupun mengajarkan cara mendongeng kepada mahasiswa di sana.
Stok cerita rakyat di Maluku, dia mengimbuhkan, cukup banyak. Tapi kendalanya adalah minimnya orang yang berani muncul sebagai pendongeng. "Banyak yang suka bercerita, tapi belum banyak yang berani tampil," ujarnya.
Di Pulau Jawa atau di beberapa kota lain marak dengan kelahiran komunitas mendongeng. Peneliti dan pakar dongeng anak, Murti Bunanta menyambut baik fenomena tersebut. Kata dia, bersemangatnya orang untuk mendongeng merupakan gejala positif. Tapi kemunculan pencerita-pencerita ini perlu dilengkapi dengan kemampuan mendongeng dan pemilihan dongeng yang tepat. "Jangan sampai mendongeng hanya sebagai ajang seru-seruan, tapi minim konten dan tak memberikan nilai baik bagi pendengarnya," dia berucap.
Mendongeng, Murti mengatakan, harus menarik dan bermanfaat. Anak sebagai pendengar dongeng harus dirangsang untuk mencari tahu lebih dari apa yang ia dengar. Misalnya, anak melanjutkan eksplorasi cerita melalui buku atau bertanya kepada orang tua dan guru.
Proses pemilihan cerita pun harus benar-benar selektif. Sesuaikan cerita dengan usia pendengar, saring pula isi dan pesan yang terkandung dalam cerita. Dari sebuah cerita rakyat yang umumnya berasal dari sumber anonim, ucap dia, bisa berbiak menjadi banyak versi. Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, Murti memberi contoh, sudah dibuat dalam sekitar 30 versi cerita.
"Kalau pendongeng mengambil versi Bawang Merah yang selalu menderita, selalu dipukuli, itu jelek. Anak bisa saja tertawa saat diceritakan, tapi bisa membuat dia ikut sadistis," Murti menambahkan.
Selain itu, penting memperhatikan bagaimana dongeng dijadikan sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai yang universal. Cerita rakyat, kata dia, tidak pernah memuat isu mengenai ras dan agama. Cerita rakyat sudah lama sekali lahir dan tak pernah berhubungan dengan agama atau kepercayaan apa pun secara khusus. Itulah sebabnya, sebuah cerita rakyat biasanya bisa dinikmati oleh pendengar dari lintas suku, kepercayaan, bahkan negara.
Berita lainnya:
Quality Time Keluarga ala Jessica Alba
Cat Warna yang Aman untuk Teman Si Kecil Mandi
Ajak Anak Bermain Catur agar Belajar Banyak Hal