TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa tambalan pada selembar kain batik “Pagi/Sore” yang ukurannya tak sampai seujung kuku tampak jelas. Seutas benang berwarna krem saling-silang menutupi lubang pada koleksi yang berumur sekitar 66 tahun itu.
Tambalan pada kain bermotif burung merak ngibing dan parang tersebut dapat diketahui tanpa perlu melihat secara langsung apalagi memegangnya –lantaran sudah rapuh juga. Tinggal meregangkan ibu jari dan telunjuk di layar telepon pintar, maka gambar kain batik milik Museum Tekstil itu membesar hingga 100 kali. Siapapun dapat melihat lebih detail hingga ke serat kain.
Tampilan batik Pagi/Sore yang dilihat melalui aplikasi Google Arts and Culture dengan perbesaran 72 persen. Tampak jelas beberapa tambalan pada kain koleksi Museum Tekstil yang telah berusia 66 tahun itu. (TEMPO/Rini K)
Tambalan pada kain batik "Pagi/Sore" yang dilihat melalui aplikasi Google Arts and Culture dengan perbesaran 100 kali. (Tempo/Rini K)
Mis Ari, Staf Satuan Pelaksana Informasi dan Edukasi Unit pengelola Museum Seni –yang mengelola Museum Tekstil, Museum Wayang, serta Museum Seni Rupa dan Keramik, mengatakan batik “Pagi/Sore” adalah satu dari 350 koleksi di Museum Tekstil yang sudah “disalin” dalam bentuk digital dan bisa dinikmati di dunia maya. “Digitalisasi ini sangat membantu museum dalam menyebarluaskan koleksi kepada masyarakat,” katanya kepada Tempo saat peluncuran Google Arts and Culture di Museum Nasional, Jakarta, Kamis 27 Oktober 2016.
Head of Public Policy Google Indonesia, Shinto Nugroho mengatakan virtualisasi batik merupakan bagian dari program Google Arts and Culture. Dalam program tersebut, Google menggandeng tujuh museum, yakni Museum Tekstil serta Museum Seni Rupa dan Keramik, Galeri Batik, Monumen Nasional (Monas), Museum Purbakala Sangiran, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, dan Agung Tai Museum of Art. Selain itu ada juga Yayasan Biennale Yogyakarta. “Google Arts and Culture adalah platform untuk melestarikan warisan budaya bagi generasi mendatang dan mempromosikannya ke kancah dunia,” ujarnya.
Mengutip survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia, pada tahun ini tercatat lebih dari separuh atau sebanyak 132,7 juta penduduk Indonesia telah terhubung ke Internet. Dengan begitu, Shinto menjelaskan, jumlah digital native alias generasi yang sudah ‘melek’ Internet sejak belia mendapat kesempatan untuk menggali informasi tentang kekayaan budaya di Tanah Air melalui aplikasi Google Arts and Culture di gadget mereka.
Ada dua cara menggunakan aplikasi tersebut: melalui cardboard (kacamata 3D) atau langsung di layar gawai, sesuai dengan bentuk objek yang hendak dilihat. Untuk menikmati peninggalan sejarah berbentuk tiga dimensi, seperti menangkap suasana di Candi Borobudur, pengguna aplikasi ini disarankan menggunakan cardboard. Duduklah ketika memakai cardboard karena gambar yang tampil diambil dengan kamera 360 yang berfungsi merekam kondisi di sekeliling, dan dapat digunakan sembari berjalan seolah menyusuri relief candi.
Cardboard. (TEMPO/Rini K)
Adapun benda bersejarah semisal batik, lukisan, atau keramik, disajikan melalui gambar dua dimensi. Gambar benda bersejarah ini diambil melalui jepretan art camera yang hasilnya bisa diperbesar hingga 100 kali. “Ini bukan kamera fotografi biasa karena memiliki sensor dan sonar yang mampu menghasilkan gambar yang tak terlihat dengan mata telanjang,” ujar Dennis Dizon, Program Manager Google Cultural Institute.
Ketika generasi muda sudah mengetahui peninggalan sejarah melalui dunia maya, apakah semangat mereka untuk datang ke museum akan surut? Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Widianto hakul yakin kekhawatiran itu tak akan terjadi. “Sebaliknya, teknologi digital membuat keterlibatan publik semakin luas, dan mereka akan penasaran untuk melihat langsung dengan berkunjung ke museum,” ujarnya.
RINI KUSTIANI
Berita lainnya:
5 Hal Ini Bikin Anda Tak Bisa Konsentrasi
Hobi yang Mampu Melatih Otak Supaya Tak Cepat Pikun
Cara Hadapi Teman Pria yang Menyukai Anda Secara Tak Wajar