TEMPO.CO, Jakarta - Akulturasi terjadi pada cha chaan teng, istilah Cina yang mengacu pada restoran teh di Hong Kong. Sebagai negeri yang pernah diduduki Inggris, teh merupakan bagian dari keseharian masyarakat Hong Kong. Namun, hingga pasca-Perang Dunia II, kebanyakan kedai teh hanya menyajikan makanan Eropa dan melarang warga lokal masuk.
Maka, pada sekitar 1950-an, mulai bermunculan cha chaan teng. Dengan harga terjangkau, target pasar mereka warga lokal. Perlahan, restoran teh menjadi bagian dari kehidupan warga Hong Kong, dan menyebar ke Taiwan, Makau, dan Cina Daratan. Mirip kopitiam buat orang Malaysia dan Singapura. Bahkan badan budaya PBB, UNESCO, menjadikan cha chaan teng warisan budaya pada 2007.
Baca Juga:
Teddy Taner, pebisnis asal Padang yang tinggal di Hong Kong antara 2007 dan 2009, jatuh hati pada cha chaan teng. Sehari, dia bisa tiga kali mampir di warung-warung teh di sana. Dia mengatakan, untuk menghemat biaya, cha chaan teng tidak menggunakan susu murni sebagai campuran teh ala Inggris, melainkan pakai susu kental manis atau evaporasi. "Mereka menyebutnya lai cha," ujarnya kepada Tempo.
Kerinduan Teddy pada lai cha bergelora saat dia kembali ke Tanah Air. Sayang, dia tidak menemukan rasa lai cha yang otentik di Jakarta. Maka, dia memilih mendirikan cha chaan teng-nya sendiri. Karena lokasinya di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, namanya jadi Po Lim Cha Chaan Teng.
Pengunjung ditemani lagu pop Mandarin, patung kucing emas pemanggil rezeki, serta deretan sofa yang juga berwarna merah. Tembok dipenuhi foto ikonik Kota Hong Kong, termasuk Stephen Chow dalam Lucky Guy. Di film komedi keluaran 1998 itu, Chow berperan sebagai pemilik kedai teh. Teddy sukses membangun suasana yang membawa kita "berpindah" ke satu kota perdagangan tersibuk di Asia tersebut.
Saya menyukai lai cha. Rasanya mirip teh tarik Malaysia dan chai tea Thailand, tapi lebih pahit. Rasa pahit itu datang dari bahan baku yang menggunakan teh hitam. Teddy mengatakan teh hitam--ia datangkan dari Taiwan, Sri Lanka, dan Cina--yang kaya kafein cocok diseruput sebagai penambah semangat kerja. Sayang, porsi es batu yang royal membuat lai cha cepat mencair dan berubah rasa.
Kami lebih terpikat oleh Champagne Yuen Yeung. Meski namanya champagne, tidak ada sampanye di gelas itu. Isinya perpaduan ciamik kopi, teh, dan susu. Penyajiannya unik. Yuen Yeung datang dalam kepulan asap. Namun, di bawah gelas kaca tanpa pegangan itu teronggok pecahan es dalam mangkuk.
Untuk mendapatkan rasa dingin Yuen Yeung, butuh kesabaran menunggu suhu es menjalar lewat gelas kaca. Namun, jangan khawatir, rasa Yuen Yeung terus terjaga meski jam telah bergeser lebih dari 30 menit sejak kedatangannya di meja kami. "Ini cocok untuk mereka yang suka kafein," kata Teddy.
Sayang, makanannya kurang menggigit. Crab Rangoon, pangsit goreng berisi krim keju bersalur daging kepiting, itu terlalu berat. Krim keju seolah bertabrakan dengan susu yang mendominasi di teh dan kopi. Walhasil, muncul rasa "mahteh". Ketimbang mubazir, kami meminta pelayan membungkusnya untuk dikonsumsi di lain waktu, saat efek susu dari lai cha dan Yuen Yeung mereda.
Berita lainnya:
Vitamin yang Dibutuhkan Wanita Berdasarkan Usia
Penjelasan tentang Vaping Vs Rokok Konvensional
Lagi, Ilmuwan Ingatkan Kaitan Garam dan Kematian