TEMPO.CO, Jakarta - Dua kali menjalani tes kecerdasan intelektual atau IQ, skor yang dicetak Gardini Oktari tak pernah tembus 70. Tapi jangan bayangkan perempuan tunagrahita 26 tahun ini tak bisa diajak berdiskusi. Mengobrol dengan Gardi-begitu dia biasa disapa-tidak berbeda dengan kaum muda Jakarta pada umumnya.
Belanja lalu Galau, Terapkan 5 Jurus Ini
Pembawaannya ceria. Dia bahkan menjadikan kondisi mentalnya sebagai bahan guyonan. "Banyak tunagrahita yang kesal dibilang bego. Padahal, ya, emang bener, kan? Ha-ha-ha," ujar Gardi kepada Tempo yang menemuinya di Rumah Sakit Permata Pamulang, Tangerang. "Aku, sih, ketawa aja kalau ada yang menyebutku begitu."
Di rumah sakit tersebut, Gardi bekerja sebagai pelatih di bagian tumbuh kembang anak. Pas dengan materi kuliahnya dulu, di Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Al-Azhar Jakarta. Ya, dengan nilai IQ tersebut, Gardi tetap sanggup meraih gelar sarjana. Meski, kata dia, dengan ngos-ngosan. "Saat teman-temanku nongkrong ke sana-sini, dugem, atau ke mal, aku ke toko buku agar bisa belajar lebih banyak lagi," ujarnya.
Gardi memang berbeda. Sementara kebanyakan tunagrahita minder karena kondisinya, dia sebaliknya. Putri dokter anak ini terlihat sangat percaya diri dan lancar bertutur. Puluhan prestasi pun sudah dia bukukan, di antaranya memenangi lomba menari. Nilai kuliahnya pun di atas rata-rata.
Dari mulut ke mulut, "anomali" seorang tunagrahita ini terdengar ke telinga para orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus. Hingga akhirnya Gardi menjadi pelatih komunitas anak berkebutuhan khusus sejak 2013.
Rasa sayang, atensi, dan simpati menjadi modal utamanya dalam mengajar. Menurut Gardi, kasih dan penerimaan sangat dibutuhkan anak-anak asuhnya karena sebagian orang menganggap mereka aib. "Saat mengobrol, kami sampai sering menangis bersama," katanya. "Semacam kami ini kayak velg mobil yang rusak, udah enggak bisa diapa-apakan lagi."
Adapun kepada para orang tua, Gardi memberikan pemahaman menyekolahkan anak ke sekolah luar biasa bukanlah hal yang tercela. "Kenyataannya, banyak anak tunagrahita dipaksa masuk ke sekolah normal karena orang tua mereka malu anaknya masuk SLB," ujarnya. "Sedangkan aku dulu bahagia sekolah di sana."
Gardi juga menekankan para orang tua anggota komunitasnya untuk ikhlas menerima kondisi si anak tunagrahita, yang kerap dijadikan olok-olokan. "Yang penting adalah rajin memberi pelukan untuk si anak, agar ia tak merasa ditelantarkan," katanya.
Ber-IQ jongkok tapi tetap berprestasi bukan hal yang didapat Gardi dengan gampang. Sejak SMP, ia menjalani terapi menari dan menulis kepada dokter tumbuh kembang anak Tri Gunadi. Dia beruntung karena keluarganya sangat mendukung terapinya. Sang ayah sampai sekolah lagi di Tokyo, Jepang, demi mendapat lebih banyak lagi referensi mengenai kondisi Gardi. Tak mengherankan jika kemudian Gardi tumbuh percaya diri, periang, dan meraih pendidikan tinggi.
Memang, kata Gardi, ia sempat merasa sedih dan minder karena kondisinya. Namun, setiap kepercayaan dirinya merosot, dia kembali menyemangati dirinya sendiri. "Aku selalu bilang kepada diriku sendiri dan anak berkebutuhan khusus lainnya, semua orang berhak mendapat kebahagian, termasuk kami. Karena kami ini kondisinya istimewa, nanti pun akan mendapat kebahagiaan yang istimewa dari Tuhan," ujarnya.
Berita lainnya:
Nila Tanzil, Buku untuk Anak Indonesia Timur
Kata Ilmuwan, Semakin Lama Menguap Maka Semakin Cerdas
Mengungkap Pentingnya Sosok Ayah dalam Pengasuhan Anak