TEMPO.CO, Jakarta - Jika Anda gemar merajut atau menyukai busana rajutan, Anda mesti mengenal Sonia Rykiel. Dia meniti karier dalam industri busana pada 1961 dan jauh dari cita-cita menjadi tokoh mode dunia.
Semua bermula saat perempuan berambut oranye itu kesulitan menemukan pakaian hamil yang dia inginkan saat mengandung anak keduanya -bahkan di Laura, butik milik suaminya di Paris. Semua baju hamil saat itu menyembunyikan perut buncit sang ibu. “Padahal, saya ingin menunjukkan pada dunia betapa bahagianya saya,” kata Sonia Rykiel dalam wawancara dengan Newsweek pada 1976.
Perempuan kelahiran Neuilly-sur-Seine, Prancis, 25 Mei 1930, ini lantas membuat sendiri sweater rajut dengan potongan garis tinggi sehingga bahu terlihat lebih ramping, mengikuti bentuk tubuh, dan tentu membentuk perutnya yang membuncit. Di tangan Sonia Rykiel, knitwear tidak lagi tebal dan berat.
Busana ini dijual di Laura dan meledak di pasar. Karya itu disejajarkan dengan Coco Chanel yang membebaskan perempuan dari jeratan korset pada 1920-an. Gaya busana yang dikenal dengan poor boy sweater itu bolak-balik menghiasi sampul majalah mode Elle, dan digandrungi selebritas, termasuk Audrey Hepburn dan Catherine Denevue.
Sonia Rykiel membuka toko sendiri di Paris pada 1968. Busana kasual dan siap pakai yang diproduksinya kala itu dilabeli sebagai pakaian anti-borjuis yang bertolak belakang dari sistem haute-couture. Sejak itu berkembang istilah Rykielism yang mewakili pembebasan perempuan melalui sensualitas, kecerdasan, dan ketidaksopanan.
Lihat saja cara dia merombak panggung peragaan busana. “Saat semua desainer menampilkan peragawatinya bak seorang dewi yang disorot lampu di ujung catwalk, Sonia Rykiel mengutus modelnya secara berkelompok, sembari ngobrol dan tertawa, layaknya sekelompok perempuan yang sedang bersenang-senang,” kata Holly Brubach, jurnalis mode senior dari New York Times.
Padahal, Sonia Rykiel menjalani hari-hari awalnya di industri fashion dengan keraguan. “Sepuluh tahun pertama, saya berkata kepada diri sendiri setiap hari, ‘Saya akan berhenti besok. Orang-orang akan menyadari bahwa saya tidak tahu apa-apa’,” kata dia kepada Le Nouvel Observateur pada 2005. Keraguan itu berujung pada The Order of Légion d'Honneur, penghargaan tertinggi pemerintah Prancis, pada 2009.
Selain bergelut di dunia fashion, ibu dari Nathalie dan Jean-Phillipe Rykiel ini juga menekuni dunia penulisan. Karyanya di antaranya adalah kumpulan esai Et Je la Voudrais Nue (Dan Saya akan Telanjang), yang terbit pada 1979.
Sonia Rykiel berpulang pada 25 Agustus 2016 di usia 86 tahun. Dia dikebumikan dengan penuh keanggunan di Pemakaman Montparnasse, Paris. Keluarga dan rekan-rekannya memberi penghormatan dengan busana bernuansa hitam -warna yang menjadi ciri khas rancangan Rykiel. Alunan musik dari putranya, komposer Jean-Philippe Rykiel, mengantarkan “Queen of Knitwear” ke peristirahatan terakhir.
Sederet tamu, termasuk mantan Perdana Menteri Prancis Lionel Jospin dan Wali Kota Paris Anne Hidalgo, kehilangan perancang yang selama 20 tahun bertarung melawan parkinson itu. Jean-Charles de Castelbajac, desainer sekaligus teman dekat, mengatakan Sonia Rykiel merupakan sosok pendobrak di dunia fashion. “Pekerjaannya adalah soal kebebasan, tentang mengubah sesuatu, mengubah aturan,” kata Castelbajac, 66 tahun, selepas pemakaman.
NEW YORK TIMES | WASHINGTON POST | THE GUARDIAN | THE HOUR | AISHA SHAIDRA
Berita lainnya:
Apa Saja Persiapan Sebelum Lari Maraton?
Kiat Mengatasi Rasa Kangen Rumah saat Bepergian
Ada Wanita yang Dekat denganmu, Telusuri Apa Motifnya