TEMPO.CO, Jakarta - Menjadi seorang single mom, bukanlah urusan mudah. Setidaknya itulah pengakuan beberapa perempuan yang menjadi orang tua tunggal(single mother) yang tergabung dalam komunitas Single Moms Indonesia (SMI).
Seorang perempuan yang dicerai hidup suaminya, dia menjadi seorang single mom yang menghadapi kondisi pelik sejak gugatan cerai dilayangkan ke meja hijau. Di masa itu, hujatan dan penghakiman kerap dialamatkan kepada perempuan. “Mereka bilang, ‘Mbok ya diperbaiki dulu rumah tangganya.’ Padahal mereka tahu apa, sih tentang rumah tangga saya?”
Yang terjadi kemudian, para wanita ini merasa tersudutkan. Mereka juga acapkali merasa sendirian. Seperti dialami Maureen Hitipew, pendiri SMI. Ketika proses penceraiannya bergulir pada 2010 silam, dia merasa teman-temannya tak benar-benar memahami perasaannya.
Itu terjadi karena mereka tidak mengalami masalah yang sama dengan Maureen. “Saat itu saya sadar, saya butuh social support. Saya butuh orang-orang dengan pengalaman sama yang akan membuat saya tidak merasa sendirian,” kata Maureen.
Pada 2014, Maureen mendirikan SMI. Semata hanya karena dia tidak ingin ada wanita lain merasakan kegundahan serupa. Lewat komunitas ini, para single mom bisa berbagi cerita, pengalaman, saling memberi masukan, tanpa tendensi apapun.
“Tapi, sebetulnya tidak cuma para ibu yang tidak lagi merasa sendiri, lo. Anak-anak kami juga,” Laila Sofianty, seorang pengurus SMI menambahkan. “Saya pernah mendapat pertanyaan dari anak, ‘Si Anu (anak dari anggota SMI lain) tidak punya ayah?’ Saya bilang iya, dan dia kemudian diam. Tapi, saya tahu, dia tidak lagi merasa sendirian."
Single Moms Indonesia rutin menggelar pertemuan. Di situ, mereka hampir pasti membawa perasaan yang tidak mengenakkan, terutama jika dia anggota baru. Menurut Maureen, “pemula” biasanya masih emosional. Mereka masih mempertanyakan kenapa bisa menjadi single mom.
Dalam pertemuan Minggu, 14 Agustus lalu, hadir pakar Art Psychotherapy Mutia Ribowo. Mutia mengajukan sebuah pertanyaan yang membuka keresahan para single mom. "Ibu-ibu yang datang ke sini, kira-kira punya kondisi psikologis yang seperti apa?” tanya Mutia. Sedih, down, putus asa, trauma, hopeless, satu per satu terucap sebagai jawaban.
Dari situ, Mutia menyimpulkan semua orang yang hadir dalam pertemuan masih butuh release, sebuah proses healing. Kumpul-kumpul dan berbagi cerita cukup memberi kekuatan, namun tidak cukup untuk menyembuhkan. “Seorang konselor atau ahli tetap dibutuhkan,” ujarnya. Pada kesempatan itu, Mutia mengajak para single mom melepaskan perasaannya lewat dua buah gambar telapak tangan berjudul past dan future. Masing-masing gambar diisi pengalaman masa lalu dan harapan di masa depan setiap single mom.
Setelah proses release menghasilkan kelegaan, single mom bisa melakukan sesi konseling khusus untuk mencapai healing yang diinginkan. Maureen menyebut healing merupakan prestasi cum laude anggotanya. “Bisa dibilang, ia telah lulus,” kata Maureen.
Apa kelulusan ini termasuk pilihan untuk menikah lagi dan berhenti menjadi single mom? Maureen balik bertanya, "kenapa tidak? Namun, goal kami yang paling utama di SMI adalah menjadi single mom yang bahagia. Sembuh dari luka dan bangga dengan dirinya. Kalau jodoh, kan di tangan Tuhan."
Berita lainnya:
Daftar Kekeliruan Saat Memakai Beauty Blender
Reward and Punishment Sudah Kuno, Kini Reward-reward
Tidak Benar Rokok Elektrik Lebih Aman daripada Rokok Tembakau