TEMPO.CO, Jakarta - Pada dasarnya, menikah itu mudah. Ada laki-laki dan perempuan, sudah dewasa, bukan saudara, dan sebagainya, maka pernikahan bisa terjadi.
Dalam ketentuan Islam, syarat-syarat menikah pun terbilang sederhana, seperti ada wali nikah untuk calon pengantin perempuan, mas kawin, dan ijab kabul. Begitupun pada agama lain, kurang-lebih sama “sederhananya”.
“Ya, semudah itu, berdasarkan ketentuan Tuhan,” ucap Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis dari Biro Konsultasi Psikologi Westaria (@ig_giadc). “Namun, pada pelaksanaannya, begitu sulit dan tidak mudah. Kita manusianya-lah yang membuat pernikahan menjadi rumit. Bahkan sangat rumit,” katanya.
Melihat dari sisi yang akan menjalankannya saja, sejak awal pencarian pasangan, kita telah memperumit dengan membuat (banyak) standar tentang siapa calon kita. Calon yang kemudian tidak hanya bisa kita terima, tapi juga harus bisa diterima oleh keluarga besar. Sehingga standar tentang pribadi orang itu saja begitu banyak. Lalu, jika sudah ditemukan yang dianggap tepat dan berhasil masuk juga di keluarga besar, hal yang kemudian juga tidak mudah adalah persiapan selanjutnya, yaitu pernikahan itu sendiri.
“Bukan tentang pernikahan ‘sederhana’ yang disebutkan sebelumnya, yaitu yang sekadar mengesahkan hubungan lelaki dan perempuan, melainkan perayaan pernikahannya yang begitu rumit,” ujar Anggia.
Rumit dengan segala persiapannya, yakni bagaimana (tema, baju pengantin, katering, undangan, cendera mata, hiburan, dokumentasi, dan lain-lain); kapan (bahkan ada hitung-hitungan hari baik, dan sebagainya); siapa saja yang diundang (tentu tidak sekadar berdasarkan aturan minimum 40 orang agar tidak terjadi fitnah, tapi undangan saudara, kolega, yang bukan saja dari pihak pengantin, melainkan juga relasi orang tua, dan lain-lain).
“Tentunya hal-hal rumit yang kita buat ini berujung pada berapa biayanya,” kata Anggia. “Anggaplah mampu membayarnya, berapa pun harganya, tapi sering kali kita lupa, semua pengeluaran itu untuk apa? Betulkah sekadar mensyukuri terjadinya pernikahan, atau kemudian muncul alasan lain yang jelas tidak penting, yaitu gengsi.”
Itulah manusia, yang salah satu sifatnya gemar berlebih-lebihan. Senang memperumit diri sendiri dan kehidupannya, lalu melupakan esensi dari semua yang dilakukan.
“Karena itu, wajar jika kemudian persiapan pernikahan yang seharusnya disambut sukacita, malah memunculkan stres, bahkan konflik. Antara kita dan pasangan, bahkan antara kita dan keluarga,” ucap Anggia. “Dan tidak jarang hal ini berakibat fatal sampai dibatalkannya pernikahan itu sendiri. Tidak ada yang berharap demikian, tapi tidak sedikit yang berjalan ke arah itu. Sesuatu yang akhirnya hanya memunculkan penyesalan.”
Berita lainnya:
Hai Wanita, Jangan Percaya Pemahaman Keliru Soal Kecantikan
Tugas Suami jika Istri Terkena Sindrom Baby Blues
Yang Wanita Lakukan Saat Merindukan Kekasihnya