TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Karin Novilda. Di jagat maya, dia beken dengan alias Awkarin—leburan dari Awkward Karin. Belakangan, ia menjadi bahan perbincangan netizen. Bukan lantaran prestasi ciamiknya, melainkan polahnya yang bikin geleng-geleng.
Karin tak sekadar dikenal sebagai selebriti media sosial, tempat puluhan merek mengantre agar produk mereka dipajang di akun Instagram-nya. Dia juga fenomenal—bahkan cenderung kontroversial—karena tingkahnya saat pacaran, kongko, dan berpesta yang kerap diumbar ke publik. “Begitulah cara aku mengekspresikan diri, bukan bermaksud pencitraan,” kata Karin, 20 tahun, di Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Karin sadar betul obral perilakunya bisa ditiru pengikut Instagram-nya, yang jumlahnya mencapai 678 ribu akun. Sangat mungkin pula sebagian besar pengikut akun Karin adalah anak-anak. Namun dia tidak ambil pusing. “Aku harap mereka bisa menyaring aktivitas yang baik dan positif saja dari foto-fotoku,” ujarnya.
Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan perilaku remaja seperti yang ditunjukkan Karin adalah bentuk pembangkangan yang lazim dilakukan saat masa remaja. “Ia marah dan tak nyaman dengan kondisi yang dialami, lalu mengekspresikan di media sosial,” kata Nina—panggilan Anna.
Psikolog Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mengungkapkan, remaja yang sukarela memamerkan semua tingkah dan percakapan vulgar di akun media sosial jumlahnya tak sedikit. Kebetulan saja, ia menambahkan, Karin punya banyak pengikut. Karena itu, rekaman ulahnya mudah tersebar.
Menurut Nina, ulah Karin di media sosial bisa ditiru pengikutnya, yang sebagian besar ABG. Sebab, remaja merupakan fase seseorang mencari dan membentuk identitas lewat pergaulan—salah satunya dengan mengikuti perilaku idola, termasuk di media sosial. “Tindakan Karin bisa jadi ditiru pengikutnya,” ucap Nina.
Imitasi perilaku, dia menambahkan, cenderung dilakukan remaja. Apalagi bila tindakan itu berpeluang membuat mereka populer. Celakanya, aksi meniru bisa dilakukan dengan tindakan atau perkataan lebih kasar dan vulgar dibanding yang dilakukan sosok idola di media sosial. “Karena mereka sekadar meniru tanpa memikirkan dampaknya,” ujar Nina.
Dia menyarankan orang tua lebih peka melihat perkembangan anak-anak, khususnya saat mereka memasuki fase remaja. Diskusi, ia menjelaskan, adalah langkah terbaik untuk mencegah anak-anak meniru aksi vulgar yang kerap ditonton di media sosial.
RAYMUNDUS RIKANG
Berita lainnya:
Tanda Si Dia Menyesal Berpisah darimu
8 Titik Tubuh yang Wajib Disemprot Parfum
Berani Ajukan 4 Pertanyaan 'Maut' Saat Wawancara Kerja?