TEMPO.CO, Jakarta - Angela Luna adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan fashion di Parsons School of Design, New York, salah satu sekolah mode bergengsi di dunia. Suatu ketika, seperti ditulis Business Insider, Selasa, 12 Juli 2016, ia terusik saat membaca berita tentang kehidupan pengungsi asal Suriah. Luna merasa fashion dan hal terkait lain yang ia pelajari itu tak bertalian dengan masalah sosial-kemanusiaan global. Karena itu, dia membuat jembatan nyata yang menghubungkan fashion dengan isu kemanusiaan.
Singkirkan segala rupa manik-manik, brokat, dan lace, lalu pikirkan segala hal yang dibutuhkan pengungsi. Jadilah tenda dan kantong tidur, yang bila dilipat, menjelma menjadi jaket. Busana itu akan sangat dibutuhkan pengungsi yang terpaksa bertahan hidup di kamp pengungsian atau sedang dalam pelarian.
Baca Juga:
Sederet busana ciptaan Luna itu tak hanya multifungsi. Luna juga membuatnya cocok menjadi perisai pelindung badan untuk menembus malam yang sangat dingin. Busana itu pun ia rancang tahan air, sehingga para pengungsi tak kebasahan ketika hujan datang atau saat melintasi wilayah perairan. Khusus tenda, ia buat muat untuk dua orang.
Ide menciptakan busana multifungsi ini tak muncul begitu saja lewat “sim salabim”. Empati membuat Luna terus menggali informasi dari aktivis organisasi internasional yang menangani pengungsi. Dia pun mewawancarai para pengungsi dan mengumpulkan artikel seputar pengungsi. Hingga akhirnya, dia terpaku pada foto pengungsi yang tidur di pinggir jalan.
Dari situ, ia kembali berdiskusi dengan para aktivis untuk membuat busana yang betul-betul berguna bagi para pengungsi. Ia mewujudkan idenya dalam tujuh busana yang menjadi karya tugas akhirnya di Parsons. Ia menamai koleksinya Outwear Anywhere.
Luna juga mendirikan label fashion ADIFF dengan slogan “Design Intervention for Global Issues (Intervensi Desain terhadap Isu Global)” untuk melancarkan misinya. Bisnis pakaiannya meroket karena ternyata diminati para petualang. “Sejak situs saya online, saya dihubungi orang-orang yang senang naik gunung dan berkemah. Muncul beragam permintaan dan kebutuhan,” kata Luna kepada Business Insider.
Luna berhasrat mengikuti jejak label Toms Shoes, yang mendonasikan keuntungannya dari setiap penjualan sepasang sepatu. Perempuan berusia 22 tahun ini lantas menyisihkan sebagian keuntungannya dari penjualan busana perjalanan untuk modal membuat busana bagi pengungsi. Jadi setiap penjualan dua atau tiga busana perjalanan akan berbuah satu busana multifungsi untuk disumbangkan ke pengungsi.
Koleksi busana pengungsi Luna akan diluncurkan pada musim panas ini. Melalui koleksi itu, dia menegaskan fashion tak hanya soal busana yang indah, mahal, dan glamor. “Saya yakin, setiap industri punya cara dan kesempatan untuk membuat perubahan, bergantung pada cara Anda melihat dan mengambil kesempatan itu,” katanya.
Luna berkaca pada pengalamannya berdamai dengan konflik batin yang kerap menghampirinya ketika media ramai membicarakan pengungsi Suriah. Dia sempat ingin berhenti dari studinya dan pindah jurusan agar bisa berkontribusi nyata bagi dunia dan kemanusiaan. “Kami terus berdiskusi setiap hari tentang celana Prada senilai US$ 4.000 (sekitar Rp 52 juta) yang sama sekali tidak berdampak lebih luas,” ujarnya seperti ditulis Daily Mail, 14 Juni lalu.
Dia terus gelisah. “Haruskah saya tetap di jalur fashion?” dia bertanya kepada ayahnya. Namun Luna sadar akan talentanya dan sudah terlambat baginya untuk pindah jurusan. Saat itu dia sudah hampir menyelesaikan studinya. Lalu, dia memutuskan menggunakan bakat dan kemampuannya untuk berkontribusi nyata dalam misi sosial-kemanusiaan. "Keahlian saya selalu berhubungan dengan kreativitas dan desain. Pada akhirnya, ya, saya mempelajari fashion. Dan, saya pikir akan menarik dan inovatif jika keahlian ini saya gunakan untuk menciptakan sebuah solusi,” ucapnya.
DINI PRAMITA
Berita lainnya:
Segudang Manfaat Kesehatan Buah Markisa
Pasangan Saling Menyalahkan, Pernikahan Terancam
Cara Sederhana untuk Membuktikan Cinta Lingkungan