TEMPO.CO, Jakarta - Sejak didiagnosis menderita diabetes, Irwan tak bisa lagi mengabaikan rasa sakit. Dia bercerita, pada akhir 2014, tumit kirinya terasa nyeri. Sebenarnya Irwan tak begitu peduli karena mengira nyeri ini hanya disebabkan oleh tumit kakinya yang pecah-pecah. ”Tapi tiga hari kemudian jadi bengkak,” kata Irwan--bukan nama sebenarnya--pada akhir Juni lalu.
Karena tak mau sakitnya bertambah parah, pria 35 tahun ini memeriksakannya ke rumah sakit. Dari hasil roentgen, Irwan baru mengetahui ternyata biang rasa sakitnya berasal dari besi staples yang menancap di tumitnya. Karena riwayat diabetes melitus yang diderita Irwan, dokter meminta ia dirawat di rumah sakit, tapi Irwan menolak. ”Saya harus bekerja,” ujarnya.
Irwan mengira luka di kakinya akan cepat sembuh setelah staples yang menancap sudah lenyap. Tapi, beberapa hari kemudian, kakinya malah bernanah--tanda infeksinya bertambah parah. Mau tak mau, Irwan kembali ke rumah sakit. Dokter yang menanganinya menyarankan melakukan operasi. Nanahnya dikeluarkan dan kulitnya diganti. Selama sebulan Irwan mesti bolak-balik ke poliklinik. ”Sebulan itu baru lukanya tertutup,” tutur karyawan sebuah apotek di Jakarta Pusat itu.
Masalah infeksi seperti ini kerap terjadi pada penderita diabetes. Irwan cukup beruntung karena infeksinya tak merembet terlalu jauh. Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes Em Yunir, infeksi kecil saja pada penderita diabetes bisa berujung pada amputasi, bahkan kematian.
Yunir mengatakan diabetes menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Jika terinfeksi kuman, tubuh tak maksimal melawannya. ”Pertahanannya jadi kurang,” kata Kepala Divisi Metabolik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Penurunan daya tahan tubuh ini terjadi karena hiperglikemia alias kadar gula darah yang tinggi--lebih dari 200 miligram/desiliter. Hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan fungsi sel darah putih menurun. Padahal sel darah putih merupakan ”pasukan utama” yang bertugas menjaga keamanan tubuh. Jika ada kuman yang masuk, sel-sel tersebut akan bergerak menangkap dan memakan kuman itu.
Nah, pada penderita diabetes, pergerakan sel darah putih ini menjadi terhambat akibat tingginya gula darah. Salah satu penyebabnya, darah menjadi lebih kental akibat hiperglikemia. Karena darahnya mengental, sel darah putih tak bisa bergerak dengan cepat untuk menangkap kuman. Pembuluh darah juga menjadi kaku, bahkan menyempit akibat penumpukan gula yang berlebih. Padahal pembuluh darah adalah jalan bagi sel darah untuk mengejar kuman. Kalau jalannya terblokade atau menjadi kaku, sel darah putih tak bisa bergerak leluasa menangkap kuman.
Akibatnya kuman-kuman yang tak terkejar itu berkembang biak dengan pesat di dalam tubuh. Efeknya, menurut Yunir, tubuh jadi gampang terinfeksi. Kalau sudah terjangkit infeksi, kemungkinan bakteri menyebar secara luas ke organ lain cukup besar. Lama-lama bisa menjadi infeksi sistemik di badan. Contohnya, semula hanya luka atau bisul kecil, lama-lama bisa menyebabkan infeksi di sekujur tubuh. Ini yang membuat kondisi tubuh menurun. ”Kalau ada luka, infeksi itu ibarat kebakaran, bisa merembet ke mana-mana,” katanya.
Ada beberapa tingkat gejala infeksi. Pertama adalah selulitis, yakni infeksi pada kulit dan jaringan lunak di bawah kulit. Selulitis terjadi ketika bakteri menyerang kulit yang rusak atau normal dan menyebar di bawah kulit dan ke dalam jaringan lunak sehingga menyebabkan infeksi dan peradangan. Tandanya kulit menjadi merah dan bengkak. Untuk mengatasinya, biasanya cukup diobati dengan antibiotik.
Kalau infeksi selulitis ini tak tertangani dengan baik, akan berlanjut menjadi abses atau kantong nanah. Ini terjadi karena sel-sel darah putih yang bertugas sebagai penjaga tubuh berusaha melawan infeksi. Setelah mengejar dan memakan bakteri, sel-sel akan mati dan menjadi nanah, lalu mengisi rongga yang awalnya disusupi oleh kuman tadi. Agar infeksi tak menyebar, tubuh akan membentuk jaringan di sekeliling tumpukan nanah itu yang menjadi dinding pembatas.
Lama kelamaan kantong nanah itu akan pecah dengan sendirinya. Ini merupakan mekanisme tubuh untuk membuang nanah. Jika tak pecah justru akan berbahaya, nanah akan tertahan dan bakteri akan menjalar ke tempat di sekitarnya dan bisa menjadi infeksi sistemik.
Selanjutnya: Apa yang terjadi pada Ketua KPU, Husni Kamil Manik?