TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Ardistia Dwiasri, kunci sukses sederhana saja: pantang berprasangka buruk terhadap orang lain. Ketimbang memikirkan hal negatif, termasuk membicarakan keburukan orang, Disti lebih senang berpikir positif tentang semua hal. "Saya tak ingin punya mindset negatif," kata desainer busana itu kepada Tempo di Jakarta.
Dengan pola pikir itu, Disti merintis karier dari nol di tanah asing. Lulus dari Parsons School of Design, New York pada pertengahan 2000-an, perempuan kelahiran Jakarta itu membuat label dan menjualnya di New York, delapan tahun lalu. Semua dia kerjakan sendiri, padahal dia minim pengetahuan soal manajemen bisnis mode. Namun dia jalan terus. "Sampai produk saya tersedia di 90 toko, saya cuma punya satu asisten," ujarnya Disti, 36 tahun. Kini, label Ardistia New York tidak hanya menghiasi halaman-halaman mode di Amerika Serikat, tapi juga berekspansi ke Asia dan Australia.
Menurut pakar karier Handi Kurniawan, Disti merupakan contoh orang Indonesia yang sukses di karier global. Satu kekuatan utamanya, Handi melanjutkan, adalah karakter. "Sikap positif Disti yang membikin usahanya sukses," katanya.
Pemandu bakat dari East West Talent ini punya rumus kerangka kerja orang-orang yang sukses secara global. Dia membuatnya setelah menganalisis pola kerja 15 orang Indonesia yang sukses go international. Handi merangkumnya dalam MAPLE—Mindset and Mental, Attitude and Authenticity, Purpose and Practice, Leadership and Loyalty, Execution and Entrepreneurship. Rumus itu dia tuangkan dalam buku Global Career, yang terbit September lalu. Ini merupakan buku keduanya setelah Go Global yang dirilis tahun lalu. Dari MAPLE, terlihat latar belakang Disti yang kuliah teknik di Northeastern University of Boston menjadi satu kekuatannya karena menghasilkan desain otentik.
Bersaing secara internasional seperti yang dilakukan Disti menjadi hal yang tidak terelakkan saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku pasca-pergantian tahun nanti. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya cara berkomunikasi dengan orang asing.
Handi mengatakan sebagian besar orang Indonesia cenderung merasa rendah diri saat berkomunikasi dengan orang asing. Padahal rasa percaya diri dan keberanian mengungkapkan pendapat merupakan poin penting dalam pergaulan internasional.
Soal gaya komunikasi, Handi melanjutkan, juga perlu dipahami. Orang Barat cenderung menggunakan direct communication alias blak-blakan, termasuk soal berpendapat. Sedangkan orang Timur lebih senang menghindari penyebutan langsung atau indirect communication, terutama untuk hal-hal yang dianggap sensitif.
Disti mewanti-wanti untuk membuang jauh-jauh sikap minder, terlebih saat berhadapan dengan orang asing. Menurut dia, dunia kerja sekarang tidak lagi bersemangat untuk bersaing, melainkan bekerja sama. "Yang ada justru kemauan untuk mencari rekan," katanya. Jadi kenapa harus takut?
SUBKHAN J HAKIM