TEMPO.CO, Ponorogo (Jawa Timur) - Rasanya manis, gurih, dan segar. Selain campuran larutan gula merah, santan, dan es batu, mangkuk itu berisi cendol, tape ketan hitam, dan gempol. Hidangan tersebut menjadi kuliner khas Desa Jabung, Ponorogo, Jawa Timur.
Keberadaan es dawet Jabung tidak terlepas dari Pondok Modern Darussalam Gontor, yang sama-sama berada di Kecamatan Mlarak--sekitar 7 kilometer dari Kota Ponorogo. Pesantren yang berdiri sejak 1926 itu mengasuh santri dari berbagai penjuru di Indonesia.
Warung-warung es dawet bermunculan sejak 1970-an. "Penjualnya kian bertambah. Sekarang pun jadi sekitar 50-an," kata Danis Claurinda, penjual. Puncak kesibukan mereka adalah penghujung Ramadan dan menjelang Lebaran.
Menurut Danis, 26 tahun, saat pekan akhir bulan suci, banyak orang beriktikaf di Masjid Tegalsari, yang letaknya 1 kilometer dari perempatan Desa Jabung, sentra penjualan es dawet Jabung, lalu mampir untuk menyegarkan kerongkongan mereka.
Dengan Rp 2.500 per mangkuk, omzet Danis--generasi ketiga penjual dawet Jabung--mencapai Rp 2,5 juta sehari. Jumlah itu masih ditambah keuntungan dari penjualan tahu dan pisang goreng.
Legik, penjual lainnya, mengatakan pembelian melonjak menjelang buka puasa. Pengurus Pondok Gontor kerap membungkus es dawet sebagai takjil. "Pas Lebaran lebih banyak lagi karena banyak wali santri mampir,” ujar perempuan 52 tahun itu.
Ada keunikan dalam penyajian hidangan ini. Pembeli hanya diperkenankan mengambil mangkuk es tanpa menggubris nampannya. Ada mitos, kalau penjual memperbolehkan tatakannya direbut konsumen, artinya dia bersedia dipinang. Fitri, penjual, mengakui beberapa penjaja dawet Jabung menikah dengan pembeli. Agus Suwito, pembeli asal Balarejo, Madiun, penasaran terhadap mitos itu. "Unik, tapi sekarang sudah tidak begitu (unik)," ujarnya.
NOFIKA DIAN NUGROHO (PONOROGO)
Berita lainnya:
Cara Mengajari Anak Berpakaian
Gaji Generasi Z Sekitar Rp 25 Juta Sebulan
Ladies, Inilah 5 Sikap Anda yang Bisa Bikin Pria Kesal