TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan konferensi Asia-Afrika, April 2015, membawa banyak perubahan di kawasan Kota Tua Braga, Bandung. Deretan bangunan tua yang dulunya dirundung sepi kini hidup kembali.
Braga Punya Cerita satu di antaranya. Restoran beralamat di Jalan Braga ini menyuguhkan konsep sejarah kawasan tersebut. Ruas ini pada awal 1900-an masih dikenal dengan Jalan Pedati. Penamaan itu mengacu pada lalu lintas pengangkutan kopi dari Jalan Raya Pos Anyer Panarukan (kini Jalan Asia-Afrika) ke Gedung Kopi (kini Balai Kota Bandung) di era Politik Tanam Paksa 1831–1870.
Pemerintah kolonial mengganti sebutannya seiring dengan menjamurnya pertokoan—kebanyakan butik yang mengadopsi mode Paris—di jalan itu. Jalan Braga makin semarak pada era 1930 dan 1940-an setelah dibukanya Societeit Concordia (kini Gedung Merdeka) dan Hotel Savoy Homann, tidak jauh dari situ.
Sejarah itu disajikan secara menarik di restoran berkapasitas 150 orang ini. Irfandie Adi Pradana, 24 tahun, satu di antara pemilik Braga Punya Cerita, mengatakan konsep itu datang beberapa bulan sebelum Konferensi Asia Afrika, berdasarkan riset pasar. Para pemilik berhasil mencapai target mereka untuk membuka restoran bersamaan konferensi 72 negara tersebut. "Mengejar momen," ujar Fandie, panggilannya, kepada Tempo. Sebelumnya, gedung itu digunakan untuk restoran Jepang.
Braga Punya Cerita seperti terbagi dalam empat bagian. Pertama, bagian teras. Di sini terletak kafe terbuka, lengkap dengan panggung musik hidup dan meja bartender. "Teras ini agar orang tak segan menengok dan masuk ke dalam," kata Fandie. Lulusan Institut Teknologi Bandung ini mengatakan konsep sebagus apa pun akan percuma jika tempat itu tertutup dan menimbulkan kesan eksklusif.
Bagian selanjutnya adalah ruang saji utama. Di dindingnya terpampang deretan lukisan Jalan Braga tempo doeloe. Deretan potret pemimpin Bandung ikut menghiasi tembok, dari Bupati R.A. Wiranatakusumah II (1794–1829) sampai Ridwan Kamil.
Lantai dua, yang bebas asap rokok, biasa dipesan untuk pertemuan privat, seperti ulang tahun dan pesta karaoke. Kapasitasnya sekitar 90 orang. Ada sebuah sudut terbuka di sana yang menyajikan pemandangan Kota Tua Bandung. "Bisa digunakan sebagai tempat romantis untuk melamar," kata Fandie, tertawa.
Jika sudah mendapatkan sudut yang pas, saatnya memilih menu. Seperti umur bangunan, pilihan makanan-minuman di Braga Punya Cerita terbentang panjang. Dari jajanan pasar, masakan Sunda, Indonesia, sampai Eropa. Dalam kunjungan waktu itu, kami belum mendapati makanan yang istimewa. Jika bingung pilih saja paket.
"Saya ingin orang datang bawa Rp 50 ribu sudah dapat makan dan minum," ujar Fandie. Untuk minuman, kami merekomendasikan Milkshake Peuyeum. Siapa yang sangka tapai singkong dan susu bisa berjodoh dalam gelas dan menciptakan rasa seenak itu?
Braga Punya Cerita memberlakukan tema pada hari-hari tertentu. Misalnya Rabu, sesuai dengan agenda Rebo Nyunda-nya Bandung, semua karyawan mengenakan pakaian adat Sunda. Mereka juga menyapa pengunjung dengan bahasa Sunda. Jumat, Sabtu, Minggu menghadirkan musik hidup. Pembagiannya, Jumat malam keroncong modern, Sabtu malam akustik romantis, dan Ahad malam lagu-lagu kenangan.
Fandie tidak ingin Braga Punya Cerita menjadi tempat pengunjung sekadar ber-selfie. "Saya ingin orang bisa tahu sejarah Braga," ujar dia. Sayang, ada yang terlewat dalam rangkaian cerita itu: asal-usul nama Braga.
Banyak perdebatan mengenai penamaan tersebut. Versi Belanda menyebutnya diambil dari nama perkumpulan drama di sana. Versi lokal mengatakan asalnya dari baraga, yang berarti jalan di samping sungai.
Maklum, letaknya berdampingan dengan Sungai Cikapundung. Versi lain, seperti termuat di akun Twitter Museum KAA Bandung, asalnya dari bahasa Sunda, ngabaraga, yang berarti nampang atau mejeng. Melihat keramaiannya sekarang, versi terakhir rasanya paling pas.