TEMPO.CO, Jakarta - Kirana dan Tommy merupakan tipikal pasangan dengan kesibukan tinggi. Keduanya hampir tak punya waktu untuk bicara. Ujung-ujungnya, pasangan ini “menghadap” psikolog. Bergantian, keduanya menuturkan masalah yang telah lama memicu keretakan hubungan mereka.
Kirana adalah penulis skenario. Sementara Tommy bekerja sebagai analis komputer. Kirana gemar mengobrol dan mahir bertutur. Sedangkan Tommy tipe hemat bicara dan langsung ke tujuan dalam menyampaikan soal.
Perbedaan ini yang menjadi pokok pertengkaran."Tommy lebih suka diam, saya berinisiatif bicara. Bukannya asyik, malah kami sering ribut. Pernah dia tertidur pulas ketika saya ajak ngobrol. Keterlaluan,” kata Kirana berapi-api.
Belum lama ini Kirana naik darah karena suaminya tidak menyampaikan promosi yang diterimanya di kantor. “Dia malah bercerita duluan ke temannya,“ keluh Kirana. Ketika psikolog memberikan kesempatan kepada Tommy, segera saja dia meluapkan unek-unek. Kirana, menurut Tommy, terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bicara. “Obrolannya berbunga-bunga, padahal ia bukan menulis skenario,” ujar Tommy.
Psikolog Adriana Soekandar Ginanjar MS menyebutkan, pada pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, ada pergeseran dalam pola berkomunikasi. Kini makin banyak perempuan menikah yang bekerja. Mereka punya penghasilan tetap, mereka punya kebutuhan mengaktualisasi diri. “Perempuan juga mau masukannya didengar, tidak hanya dari kepala keluarga (suami),” Adriana menjelaskan.
Nah, pesatnya aktualisasi diri perempuan, menurut Adriana, tidak dibarengi kemajuan dari pihak lelaki. Dia mencontohkan, sedikit sekali suami yang dengan senang hati terjun mengurus anak. Mereka cenderung mengambil posisi sebagai suami dalam rumah tangga tradisional.
“Mereka suka istri pintar dan bisa cari uang tapi tidak banyak membantah dan selalu memperhatikan kebutuhan di rumah,” ujarnya. Mulai dari menyiapkan sarapan, bikin kopi, atau menyiapkan baju kerja. “Ini harapan yang tidak realistis,” Adriana menambahkan.
Di sisi lain, istri juga memiliki harapan kurang realistis. Ia mau diperlakukan setara, diskusi asyik dengan suami setiap saat, mengharapkan suami mau menggantikan popok anak atau mengerjakan tugas-tugas domestik.
Sempitnya waktu untuk berkomunikasi selalu menjadi soal utama. Salah satu jalan keluar yang diusulkan Adriana adalah memperbanyak komunikasi nonverbal. Misalnya, saling mengirim pesan pendek, atau bisa juga saling memeluk atau mengelus kepala. Ini jauh lebih nyaman dan efektif ketimbang bicara panjang-lebar tapi ujungnya bertengkar. Tatkala komunikasi sudah buntu, hati bisa lumer membaca pesan pendek yang lucu dan mesra.
Pria dan wanita memiliki kebiasaan berbeda dalam menuangkan gagasan. Adriana menyarankan, bila istri ingin membicarakan sesuatu, sebaiknya langsung pada inti masalah. Minta suami mendengarkan saja, tanpa memberikan saran. Kebiasaan memotong pembicaraan juga berpotensi memicu pertikaian.
Soal lain yang kerap memicu keretakan adalah prioritas. Dalam hal ini Adriana menyarankan para pria tidak mementingkan posisi dan materi dalam mengejar kesuksesan. Kebahagiaan berkeluarga, termasuk mulusnya komunikasi, harus menjadi prioritas pertama.
Jadi, seringlah mencium kening istri atau suami saat bertemu ketimbang saling menumpahkan amarah.
U-MAG | EVIETA FADJAR
Berita terpopuler lainnya:
Heidi Klum Ungkap Rahasia Tampil Seksi
Penyakit Berbahaya Akibat Kurang Tidur
Manfaat Alpukat Buat Diet