TEMPO.CO, Jakarta - Seringkali anak yang menyaksikan peristiwa bullying atau perundungan dihadapkan pada pilihan sulit. Yakni antara membela atau diam saja. Banyak anak takut dicap mengkhianati teman dan bahkan menjadi korban bully selanjutnya.
Peneliti psikologi Universitas Indonesia, Ratna Djuwita, mengungkapkan, anak-anak yang berani membela atau membantu teman lainnya yang mengalami perundungan tergantung dari tingkat efikasi dirinya. Efikasi adalah kemampuan untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan, termasuk kemampuan mengatur situasi.
Seseorang yang memiliki efikasi tinggi dapat mengorganisasi diri maupun kelompoknya. Selain tingkat efikasi diri dan komunitas, kebahagiaan psikologis turut mempengaruhi seseorang untuk berani mengintervensi kasus kekerasan.
“Bagi saksi, pandangan kelompok jadi patokan. Namun, semakin tinggi kebahagiaan psikologis, semakin tinggi efikasi diri saksi, akhirnya semakin tinggi pula kesediaan saksi untuk menolong korban,” ujarnya.
Saksi, lanjutnya, akan menolong korban jika dia merasa bahwa kehidupannya berjalan baik dan bermakna serta mendapat dukungan dari komunitas sekolah. Lalu, bagaimana sebaiknya sikap orang tua ketika menghadapi anaknya yang menjadi saksi dalam peristiwa perundungan?
Beberapa saran yang dia paparkan di antaranya adalah orang tua perlu memastikan bahwa sekolah dapat secara serius merespons peristiwa perundungan, seperti memiliki kebijakan yang tegas terkait kasus ini. Pastikan pula bahwa sekolah berupaya untuk memperkuat kekerabatan siswa melalui kegiatan yang melibatkan siswa dari berbagai tingkat.
Orang tua dapat menganggap semua siswa adalah anaknya, sehingga dia perlu melaporkan jika mengetahui kejadian perundungan, walaupun yang menjadi korban bukan anaknya.
“Biasakan kalau ada masalah, lapor. Pastikan anak-anak punya tempat melapor yang aman. Ubah mindset anak bahwa melaporkan teman yang melakukan perundungan adalah mengkhianati. Sebaliknya, itu menyelamatkan teman,” katanya.
Bagaimanapun juga, menghindari lebih baik daripada mengobati. Pembiasaan sikap yang prososial perlu terus ditanamkan hingga mengakar, baik di ranah keluarga maupun sekolah. Sikap prososial adalah sikap tolong-menolong, dalam hal ini menyelamatkan orang lain. Dalam perilaku prososial, tanamkanlah sikap empati. Ajak anak untuk membayangkan dirinya berada di posisi korban.
“Sikap prososial hubungannya dengan emosi. Semakin tinggi empati, maka biasanya keterlibatan sebagai pelaku atau saksi bullying atau perundungan juga semakin rendah,” ujarnya.
Artikel lain:
Mantan Sudah Move On Duluan, Kamu Kapan?
Air Hangat dan Perasan Buah Lemon, Rasakan Manfaatnya
Pakai Aromaterapi, Hati-hati Ibu Hamil dan Penderita Asma