TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa waktu lalu khalayak terkejut dengan berita meninggalnya CEO Takis Entertainment, Oka Mahendra Putra. Disinyalir, Oka meninggal bunuh diri karena depresi dikejar hutang. Namun, kabar tersebut dibantah oleh keluarga dan sahabat almarhum. Mereka mengatakan bahwa kepergian Oka akibat depresi, hingga sakit dan tak nafsu makan selama dua bulan terakhir – bukan bunuh diri.
Terlepas dari benar atau tidaknya Oka depresi lantaran terlilit hutang, benarkah tekanan ekonomi dapat membuat seseorang depresi? Psikiater asal Kota New York, Marlynn Wei, M.D, J.D menyatakan bahwa penyebab depresi tidak dapat diketahui secara spesifik.
Baca juga:
Bunuh Diri Tak Bisa Dicegah? Simak 5 Faktanya
Sering Bicara Sendiri, Aneh atau Wajar
Kylie Jenner Penasaran dengan Satu Pengalaman Hidup
Pada banyak kasus, depresi tidak disebabkan oleh penyebab tunggal, melainkan kombinasi dari banyak faktor seperti genetik, lingkungan, psikologis, kejadian atau sejarah masa lalu. Faktor ekonomi juga termasuk salah satu yang memicu depresi.
“Karyawan yang kehilangan pekerjaan akibat pemecatan atau pebisnis yang mengalami kebangkrutan mengalami perubahan situasi finansial yang drastis. Perubahan kondisi finansial dari ‘aman’ menjadi ‘tidak aman’ ini dapat menyebabkan guncangan pada psikis seseorang.” ungkap Marlynn.
Spesialis pencegahan di Pusat Sumber Daya Pencegahan Bunuh Diri di Amerika Serikat, Elana Premack Sandler, L.C.S.W., M.P.H., mengatakan tekanan finansial akibat menjadi pengangguran atau mengalami kebangkrutan akan meningkatkan kecemasan, stres, dan depresi, terutama jika orang tersebut merupakan penopang keluarga.
Ketakutan akan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan hidup seperti ketahanan pangan dalam keluarga, biaya pendidikan, dan sebagainya menjadi beban yang tidak bisa diabaikan. Pada saat itu, seseorang cenderung merasa putus asa dan tak berdaya dengan situasi yang dialami.
Tak hanya orang yang kehilangan mata pencaharian saja yang dapat mengalami depresi, orang yang masih berstatus karyawan pun dapat mengalami gangguan kecemasan bahkan frustasi. Hal ini diakibatkan oleh lingkungan kerja yang tidak stabil akibat adanya pengurangan karyawan atau pengurangan gaji.
“Melihat rekan kerja kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan lingkungan kerja yang tidak stabil. Perasaan takut akan mengalami hal serupa dapat menyebabkan gangguan kecemasan yang menyerang para karyawan yang bertahan,” ujar Elana.