TEMPO.CO, Jakarta -Bunuh diri kini merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi selain penyakit kronis. Di Amerika Serikat, misalnya, bunuh diri menduduki posisi ke-10 penyebab kematian menurut Pusat Pengontrol dan Pencegahan Penyakit di negeri itu.
“Bunuh diri adalah masalah utama kesehatan masyarakat yang semakin butuh perhatian karena banyak orang yang enggan membahasnya,” kata Dr. Adam Kaplin, profesor jurusan psikiatri dan neurologi di John Hopkins Baltimore, Amerika Serikat. (baca: Hidup dengan Anak Autis, Simak 5 Terapinya)
Berikut 5 mitos mengenai bunuh diri dan fakta di baliknya, seperti dilansir Live Science.
1.Puncaknya pada hari libur
Konon bunuh diri paling banyak dilakukan di hari libur karena meningkatnya stres, terutama di musim dingin. Kasus bunuh diri memang sangat tinggi pada musim tertentu, tapi biasanya di musim semi. Menurut sebuah penelitian pada 1995 dan dimuat di jurnal Sosial Science & Medicine mendapati fakta tingkat bunuh diri di Hemisphere Utara, Amerika Serikat, sangat tinggi di bulan Mei. Para peneliti belum memahami sepenuhnya kenapa bunuh diri juga bersifat musiman, tapi sebuah teori memperkirakan bulan-bulan dengan cuaca hangat justru meningkatkan stres pada mereka yang mengalami masalah mental.
2.Gagasan dari orang lain
Ketika seseorang tampak depresi, orang-orang terdekat khawatir untuk bertanya apakan orang tersebut pernah berpikir untuk bunuh diri karena takut pertanyaan mereka justru akan membuat ia bunuh diri. Padahal faktanya tidak seperti itu. Menurut para pakar kesehatan mental, jika kita cemas terhadap seseorang, lebih baik ajak ia berbicara secara terbuka. Menanyakan apakah ia pernah berpikir untuk bunuh diri tak akan memasukkan gagasan untuk melakukan tindakan nekad tersebut. Justru pembicaraan itu diharapkan bisa membantu orang tersebut.(baca: Kisah Vaksin yang Konon Penyebab Autisme)
3. Pengakuan ingin bunuh diri hanya untuk mencari perhatian
Mitos yang beredar bila ada orang mengaku ingin bunuh diri, ia hanya ingin mencari perhatian, dan orang-orang yang tak pernah mencari perhatian justru yang harus dikhawatirkan. Opini itu keliru. Membicarakan soal kematian dan melukai diri sendiri justru menjadi peringatan besar kalau ia akan berusaha bunuh diri. Tak semua orang yang berencana bunuh diri mengungkapkan niatnya. Tapi bila ia memang mengungkapkannya, bukan berarti ia juga tak akan melakukannya.
4. Pelaku meninggalkan pesan
Orang yang bunuh diri biasanya meninggalkan pesan atau surat wasiat. Menurut sebuah penelitian, hanya 40 persen pelaku bunuh diri yang meninggalkan pesan.
5. Bunuh diri tak bisa dicegah
Pendapat bahwa bunuh diri tak bisa dihindari atau dicegah hanyalah mitos. Menurut sebuah penelitian yang dimuat di The New England Journal of Medicine pada 2008, 90 persen orang yang berniat bunuh diri bisa diselamatkan, bahkan yang menggunakan peralatan berbahaya seperti pistol sekalipun. Seorang penyintas, Ken Baldwin, pernah ingin melompat dari jembatan Golden Gate namun kemudian mengurungkan niat dan menyesali keputusan sesaatnya. Kepada majalah The New Yorker pada 2003, ia berkisah, “Saya segera menyadari segala sesuatu dalam hidup yang saya pikir tak bisa diperbaiki ternyata bisa, kecuali jika saya jadi meloncat.” (Baca: Mengenal 5 Gejala Autisme Sesuai Kelompok Umur)
PIPIT