TEMPO.CO, Jakarta - Remaja masa kini tak bisa lepas dari dunia media sosial. Mereka bisa dipastikan punya akun Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan beragam aplikasi di dunia maya lainnya.
Psikolog anak dan praktisi Theraplay PION Clinican, Astrid WEN mengingatkan orang tua dalam menghadapi remaja yang sangat eksis di dunia maya. “Internet memberikan jaringan yang luas sekali kepada semua orang, khususnya remaja. Sisi baiknya, mereka mendapat lebih banyak pilihan role model ketimbang zaman sebelum Internet,” kata Astrid dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo.
Sisi gelapnya, Astrid melanjutkan, remaja kerap tak menyadari risiko yang akan dihadapinya. Misalnya ketika satu gambar terunggah di Internet, maka gambar itu -rela atau tidak- akan menjadi milik publik, sehingga sangat mungkin disalahgunakan.
Ketika disalahgunakan, maka remaja tersebut berpotensi mengalami perisakan atau bullying, dipermalukan, atau kekerasan. “Remaja mungkin tidak sadar akan bahaya ini meski sudah diperingatkan. Mereka kurang memahami konsekuensinya, hingga merasakan sendiri,” ujar Astrid.
Selain potensi kejahatan cyber, Astrid menambahkan, ada bahaya lain yang mengintai remaja penggila media sosial, yakni berupa kecemasan dan depresi. Mereka cemas menunggu berapa like yang terkumpul, cemas memilih ratusan foto yang mau diunggah, depresi karena tidak mengerjakan projek yang berpusat pada kepedulian terhadap orang lain, depresi karena akan melihat orang lain selalu lebih baik darinya, dan lain sebagainya.
Baca juga:
Ilustrasi selfie.
“Saat kita ingin selalu tampil dengan sempurna dan happy, look perfect or good, atau gaul di media sosial, tekanan itu selalu ada. Dan semua itu akan menjadi personal branding,” ujarnya. Yang juga bahaya adalah, pada akhirnya kita tidak menjadi diri sendiri. “We put our fake accounts there. Keseksian kita diambil dari usaha beberapa puluh take foto. Keseksian kita tidak lagi fun.” Baca: Heboh Posting Foto Seksi, Pengaruh Sexting Tak Banyak yang Tahu
Mereka yang sudah tergila-gila dengan media sosial dan terobsesi membentuk jati diri di dunia mata, menurut Astrid, akan kehilangan waktu untuk bersosialisasi secara nyata. Sebab, mereka memilih masuk ke dunia maya demi mendapatkan 1.000 likes daripada berteman dengan 5 orang di dunia nyata yang dapat disentuh.
Jika kondisi ini berlarut-larut, kebutuhan untuk berkoneksi secara emosional, afektif, dan penuh penghargaan akan sulit diraih ketika pesan yang kita sampaikan melalui body image, dengan bergaya seksi dan tidak senonoh, merupakan secuil keinginan untuk “bermain”.
“Ini bukan berarti tidak boleh bergaya seksi, tapi perlu dipikirkan baik-baik apa tujuannya dan apa motivasi yang mendasarinya,” kata Astrid. Jika kebutuhannya hanya ingin diperhatikan, dia khawatir remaja akan mendapat perhatian yang salah. Artikel terkait: 6 Alasan Posting Foto Seksi di Media Sosial, Apa Dampaknya?
Untuk mengatasi semua itu, Astrid menyarankan kepada orang tua memberikan bekal pengetahun mengenai dunia media sosial, aturan penggunaan, dan risiko yang mengintai kepada anak sebelum beranjak remaja. Selain itu, perlu komunikasi dua arah antara anak dan remaja. “Dengan membuka dialog, anak juga mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dari orang tua dan mereka merasa di-support,” ujarnya.
Jika memungkinkan, Astrid menambahkan, jadikan isu yang sedang happening di dunia remaja di Internet sebagai bahan diskusi sebagaimana membicarakan berita sehari-hari. Hal ini dapat membantu remaja dalam membentuk identitas diri sekaligus orang tua dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas.
DINA ANDRIANI
Berita lainnya:
Anda Suka Berbohong di Media Sosial, Ini Kata Psikolog