TEMPO.CO, Jakarta - Kadang masyarakat masih tidak menyadari gangguan jiwa seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan suasana hati, penyalahgunaan zat yang bisa disebabkan oleh bencana (stressor) psikososial.
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri, Nurmiati Amir, mengatakan bencana psikososial terbagi atas dua kategori. Yang pertama dalah usual atau common stressor, yang bersifat individual. Masing-masing orang akan mempersepsikan stressor ini berskala ringan, sedang, atau berat. Berat-ringannya skala stressor tergantung pada persepsi seseorang terhadap stressor tersebut.
Selain itu, kepribadian, daya tahan psikologik, pengalaman, dan kemampuan atau ketrampilan seseorang mengatasi stressor juga menentukan. “Yang kedua adalah atastrophic stressor, yaitu stressor yang mengancam nyawa, misalnya bencana tsunami, atau stressor yang mengancam integritas, seperti pemerkosaan. Semua orang akan mempersepsikan stresor katastrofik itu sangat berat,” kata Nurmiati.
Dia menjelaskan stressor belum tentu mengakibatkan stres pada semua individu, tergantung pada kepribadian, pengalaman, serta kemampuan menghadapi masalah. Hal yang perlu dicegah adalah terjadinya gangguan stresor akut, stres pasca trauma (PTSD), atau gangguan jiwa lain. “Sebelum individu mengalami PTSD, terjadi fase akut yang berlangsung mulai dari tiga hari hingga satu bulan pasca-trauma. Bila tidak ditangani dengan baik, gangguan stres akut dapat berlanjut menjadi PTSD,” paparnya.
Untuk mengatasi reaksi stressor akut tersebut, lanjutnya, masyarakat diimbau untuk membawa seseorang yang terkena bencana psikososial ke tempat yang aman, menawarkan bantuan, dan membantu menghubungkan korban dengan layanan sosial atau rumah sakit.
Ketua Umum PP PDSKJI, Eka Viora, mengatakan ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) berperan penting dalam peningkatan taraf kesehatan jiwa, baik dalam kondisi sakit fisik maupun psikis atau dalam kondisi sehat. Di kalangan masyarakat awam maupun profesi kesehatan, psikiatri seringkali masih dianggap sebagai bidang yang menangani gangguan jiwa berat saja. “Sampai saat ini, stigma yang melekat pada penderita gangguan jiwa merupakan hambatan utama untuk menyediakan perawatan untuk orang yang mengalami gangguan jiwa,” paparnya.
Eka menjelaskan stigma tidak hanya terbatas pada penyakit, tapi juga orang yang sakit, keluarga, institusi yang memberikan perawatan, obat psikotropika, dan petugas kesehatan jiwa termasuk psikiater. Stigma yang melekat pada penderita gangguan jiwa merupakan hambatan utama untuk suksesnya program memperbaiki kesehatan jiwa masyarakat.
BISNI
Artikel lain:
Kiat Mengontrol Porsi Makan
Fakta tentang Seksualitas pada Abad Pertengahan
7 Negara dengan Kaum Hawa yang Rentan Osteoporosis