TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti menemukan obat malaria yang sudah habis masa perlindungannya (off-patent) dan boleh diproduksi massal mampu membantu menghancurkan sel kanker dengan membuat sel-sel lebih rentan terhadap terapi radio. Hal ini mendorong sejumlah ilmuwan Inggris untuk memulai sebuah percobaan klinis.
Menurut para peneliti, obat anti malaria atovaquone meningkatkan level oksigen dalam sel tumor yang ada pada tikus percobaan dan membuat terapi radio menjadi lebih aktif dalam melawan berbagai jenis kanker, termsuk kanker paru, usus, otak, kanker kepala, dan leher.
Melakukan terapi radio terhadap sel kanker dengan level oksigen rendah lebih sulit. Sel kanker dengan level oksigen rendah juga lebih gampang menyebar ke bagian tubuh lain. “Saat ini kami telah melakukan percobaan klinis untuk melihat apakah hasil serupa ditemui pada pasien kanker,” ujar pemimpin penelitian Gillies McKenna dari Cancer Research UK Radiation Research Centre di Oxford kepada Reuters.
Pihaknya berharap obat berbiaya murah yang sudah diproduksi ini dapat membantu tumor yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. Penemuan tim ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Ide untuk memanfaatkan obat yang sudah ada untuk tujuan lain, yakni melawan kanker mendapat perhatian ilmuwan. Mereka menyadari obat-obat yang sudah ada sebelumnya bisa saling melengkapi setiap terapi.
Fakta obat ini adalah off-patent berarti harganya terjangkau. Namun, kurangnya perlindungan paten juga menjadi masalah lain karena perusahaan obat yang berinvestasi dalam penelitian tingkat akhir kurang yakin dengan potensi balik modal.
Atovaquone digunakan untuk mencegah dan mengobati malaria. Obat ini biasanya diresepkan kepada pelancong dalam bentuk Malarone, kombinasi atovaquone dan proguanil yang dikembangkan oleh Glaxo SmithKline.
BISNIS
Artikel lain:
Hati-hati 7 Karma jika Berbohong kepada Pasangan
Olahraga Tanpa Mengenakan Celana Dalam, Bolehkah?
7 Kebiasaan yang Bikin Wajah Wanita Muda Tampak Tua