Apa saja pengalaman tentang karier yang mendebarkan?
Waktu saya menjadi moderator di debat calon presiden yang pertama pada 2004. Jika saat itu media sosial sudah sebesar sekarang, mungkin sudah habis saya di-bully. Benar-benar bully yang pahit, beda dengan sekarang sweetbully.
Saat itu, banyak yang menilai saya kasar dalam memotong. Tapi buat saya, aturannya kan sudah jelas, setiap calon dapat jatah bicara sekian menit, bel juga sudah berbunyi, kalau melewati itu, ya harus dipotong.
Ketika saya melihat ulang tayangannya dan membaca review di berbagai media, saya lihat kok jadi begini (banyak komentar negatif). Misal, dari sepuluh orang, delapan diantaranya bilang kamu bagus, dan dua orang menilai jelek, ya sudah. Tapi dari sepuluh orang, ada delapan atau sembilang orang yang bilang kerjamu jelek, maka yang salah kamu. Saya mungkin betul menjalankan tugas sebagai moderator, tapi apakah cara saya sudah cukup sesuai?
Saya hampir di-cut untuk debat capres kedua. Saya sudah pasrah. Tapi kenyataannya penyelenggara debat masih memberikan kepercayaan kepada saya. Belakangan, saya baru tahu ada peran dari Pak Hamid Awaluddin (anggota KPU) dan almarhum Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU).
Mereka menilai, kalau Ira ditarik (tak lagi menjadi moderator debat kedua pada pilpres), habis kariernya. Dari situ maka dibuatlah aturan untuk memperbaiki kekurangan di debat capres sebelumnya. Pak Nazaruddin bilang kepada saya, ‘Kamu tetap ya. Pokoknya semangat’. Saya benar-benar menghargai upaya mereka.
Selama menjadi wartawan, saya paling berkesan saat ditugaskan ke Aceh untuk program embedded journalist, pasca-rekonsiliasi pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ternyata nama-nama kami (wartawan) bocor ke GAM, sehingga ada kekhawatiran terkait keamanan.
Terkait karier, kenapa memilih menjadi konsultan public relations dengan bendera Ira Koesno Communication, bukan jurnalis?
Being journalist is not in my blood. Artinya, pada satu titik saya akan merasa bosan dan passion saya bukan menjadi jurnalis, melainkan di komunikasi. Saya tidak mau menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Karenanya saya harus pindah sesuai passion, yakni media dan publikasi.
Bapak saya seorang dokter anak, tapi saya tidak mau mengikuti jejaknya karena trauma. Waktu kecil, tempat praktik bapak jadi satu dengan rumah di Kemayoran, Jakarta Pusat. Saat itu, hampir setiap malam ada saja pasien datang, ketok-ketok pintu dan memaksa dilayani sampai memaki-maki. Padahal dokter kan juga butuh istirahat. Dari situ saya berpikir, jadi dokter itu enggak enak. Ternyata waktu jadi jurnalis, ya sama aja kerjanya kayak gitu. Ha…ha…ha…
RINI K | DINI TEJA