TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu pekerjaan yang tak banyak diketahui orang di dunia kain tenun adalah pencukit. Di Sumatera Selatan, pencukit berarti orang yang membuat motif untuk kain tenun. Singkat kata, pekerjaannya sama seperti desainer yang menentukan bagaimana gaya busana.
Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Mia Ariyana mengatakan tak semua penenun mampu membuat motif kain yang hendak dibuat. “Kalaupun sudah diajarkan berkali-kali, mereka belum tentu bisa karena prosesnya rumit sekali,” kata Mia kepada Tempo di acara Pameran Produk Perempuan Usaha Kecil Mikro Tenun Tangan Ramah Lingkungan di Jakarta, Selasa 29 November 2016. Buktinya, dari sekitar 2 juta anggota ASPPUK yang bergelut di dunia kain tenun, hanya beberapa orang saja yang mampu membuat motif, salah satunya Mardiana.
Mardiana, 27 tahun, merupakan penenun sekaligus pencukit yang tinggal di Desa Tanjung Laut, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Anak keempat dari lima bersaudara ini belajar menenun dari neneknya sejak usia 11 tahun. Menenun merupakan kegiatan turun-temurun yang digeluti setiap perempuan di kampungnya. Sayangnya, tak satupun anggota keluarganya, bahkan orang sedesa yang mampu membuat sendiri motif untuk kain tenun yang mereka buat.
Berangkat dari situ, perempuan kelahiran 8 Agustus 1989 ini mengikuti pelatihan membuat motif tenun selama enam bulan. Mariana memulai pekerjaannya dengan menggambar motif di atas kertas kotak-kotak atau kristik. Proses ini penting untuk mengetahui hitungan benang masuk-keluar demi menemukan “rumus baku” motif tenun. Kemudian wanita tamatan Sekolah Menengah Atas ini mengimplementasikan rumus tersebut melalui benang yang dililit pada batang daun kelapa atau lidi.
“Kalau sedang mencukit, saya butuh ketenangan karena harus konsentrasi penuh agar tak salah hitung,” ujar Mardiana. Berkat kepiawaiannya, para penenun menjadi pelanggan motif buatan Mardiana. Beberapa motif tenun buatannya antara lain, Bintang Berkait, Nampan Perak, Cantik Manis, dan Tangkai Mawar.
Kain tenun motif Tangkai Mawar buatan Mardiana. (RINI K | TEMPO)
Menurut Mardiana, pekerjaan mencukit memiliki nilai lebih ketimbang menenun. Para pencukit, kata dia, mampu memberikan ruh pada kain tenun melalui motif yang dibuatnya. Selain itu, Mardiana melanjutkan, “uangnya juga lebih.” Satu motif dibanderol Rp 1 juta. Adapun alat cukit dari lidi yang dibuat oleh Mardiana tadi, bisa digunakan berulang kali oleh penenun, asalkan uliran benangnya tidak rusak.
Sejak kecil, Mardiana tak pernah bermimpi untuk menjadi penenun, apalagi pencukit. Saat remaja, dia sempat malas menenun karena ingin mengejar cita-cita menjadi pengacara. Menurut dia, kegiatan menenun di desanya terbilang monoton karena setelah kain tenun jadi langsung dijual atau dipakai sendiri. “Begitu terus selama ini,” ujarnya.
Sampai pada 2013, Mardiana dan sejumlah penenun di desanya mendapat pelatihan bagaimana membuat kain tenun sehingga memiliki nilai jual tinggi. “Caranya, bikin kain tenun dengan menggunakan benang serat alam, sekaligus belajar membuat motif,” katanya. Untuk diketahui, kain tenun yang terbuat dari benang serat alam dihargai lebih mahal ketimbang kain tenun yang menggunakan benang sintetis.
Mardiana mengaku ingin menularkan kemampuan mencukit kepada generasi muda di desanya. Sayangnya, tak semua antusias mempelajari teknik membuat motif karena membutuhkan kesabaran dan ketelitian. “Sebagian besar cuma sanggup belajar 1-2 hari saja,” ujarnya. Mereka beralasan sakit mata karena harus melihat kotak kristik yang kecil dan menghitung setiap helai benang. “Kata mereka, lebih mudah mengetik ketimbang mencukit.”
RINI KUSTIANI
Berita lainnya:
Wanita Australia Bikin Boneka Barbie Menyusui
Kesemutan Pertanda Terjadi Gangguan Kerja Saraf
Tertawa Saat Bekerja Membangun Kekompakan dan Kreativitas