TEMPO.CO, Jakarta - Udang dan ilmu pengetahuan seperti melekat dengan sosok Sidrotun Naim. Dia menunjukkan gambar-gambar yang menjadi materi kuliah yang dia sampaikan di Program Studi Bisnis Universitas Surya, Tangerang, Banten.
Bos Daun Muda
Meski temanya berat, yakni bakteri dan virus pada udang, gambar dan bagan itu sama sekali tidak njelimet untuk dipahami. Malah bisa dimengerti dengan mudah karena penuh warna dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana. "Saya sampai menyewa jasa desainer grafis untuk bikin materi ini jadi lucu dan menarik," kata Naim kepada Tempo di kampusnya.
Perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah, itu memang bertekad menyuguhkan ilmu pengetahuan yang berat dalam versi yang lebih renyah. Dia berpendapat ilmu pengetahuan akan lebih gampang dimengerti jika disampaikan dengan jenaka. Itulah mengapa ia ngotot membumikan materi disertasinya yang bertutur soal penyakit udang agar masyarakat awam pun bisa ikut belajar.
Dua hal itu pula yang membuat Fulbright-lembaga beasiswa Amerika Serikat-menunjuknya sebagai satu dari empat wakil mereka saat menerima penghargaan Prince of Austria Award di Oviedo, akhir tahun lalu. Itu adalah penghargaan tertinggi Spanyol yang dianggap sebagai Nobel-nya Negeri Matador. Naim dianugerahi penghargaan untuk kategori kerja sama internasional.
Naim terpilih dengan menyisihkan sekitar 360 ribu alumnus Fulbright di seluruh dunia. Di Oviedo, Naim dan beberapa orang lainnya juga diberi penghargaan personal dari Raja Spanyol, Felipe VI, karena dianggap konsisten di bidang masing-masing. Diganjar penghargaan tersebut, Naim merendah. "Mungkin saya terpilih karena dianggap mewakili perempuan dan kalangan muslim, he-he-he," ujar ibu satu anak ini.
Jatuh hatinya Naim kepada dunia udang bermula ketika anak ke-7 dari 11 bersaudara ini terlibat dalam program lembaga konservasi lingkungan WWF di Aceh pada 2005. Dia bertugas mendampingi penambak udang korban tsunami. Setahun kemudian, dia mulai meneliti infectious myonecrosis virus (IMNV) pada udang vaname milik warga setempat.
"Udang kan primadona negara kita. Sayangnya, ada potensi penyakit yang jadi pembatas produksi udang," kata warga Bandung ini. Namun, Naim melanjutkan, penyakit-penyakit itu bisa dihalau. "Seperti halnya manusia yang bisa terus sehat selama kondisi tubuh dan lingkungannya baik."
Niat Naim mendalami penyakit udang kesampaian, setelah dia diterima sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Arizona, Amerika Serikat. Sebagian disertasinya membahas tentang komunikasi pada bakteri dan udang. Tak disangka, di Arizona dia malah berkesempatan berkuliah program master untuk kedua dan ketiga kalinya. Para pembimbing risetnya adalah pakar utama di bidang masing-masing. Ini yang membuat gudang pengetahuan Naim kian berisi.
"Bergaul" dengan udang, Naim menyebut dirinya sebagai pejuang hak asasi hewan itu. Dia bisa sewot saban mendengar asosiasi negatif macam otak udang. "Kenapa sih udang yang disalahkan? Padahal kalau banyak makan udang, bisa pintar, lho," ujarnya.
Perempuan yang dijuluki "dokter udang" itu juga "membela" keberadaan bakteri dan virus di tubuh manusia. Naim mengatakan mereka masuk ke raga kita semata untuk mencari makan. "Bakteri itu lebih tua dibanding kita, lho," katanya. "Jadi, kita harus lebih sopan kepada mereka."
Di tengah kesibukannya belajar dan mengajar, ada satu kegiatan yang sukar dia tepikan: bermain lego. Jika sudah bergumul dengan balok warna-warni itu, Naim mengatakan bisa lupa daratan. Lelah fisik dan pikiran pun dia abaikan demi mengutak-atik mainan tersebut. "Saya bisa emosional jika berhadapan dengan orang lain. Tapi dengan lego, saya selalu sabar," ujarnya.
Berita lainnya:
Tip Membeli Sofa
Kini Saatnya Busana Muslim Tak Feminin
5 Hal ini yang Bikin Pria 'Menyerah' kepada Wanita