TEMPO.CO, Jakarta -Dari berbagai faktor pemicu, makanan merupakan salah satu masalah pemicu alergi yang paling sering dialami oleh anak. Sekitar 20 persen anak usia 1 tahun pertama mengalami reaksi terhadap makanan yang diberikan. Secara global, 240 – 550 juta orang berpotensi menderita alergi makanan. Alergi makanan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderita, terutama pada anak-anak.
Peningkatan risiko alergi akibat orang tua belum paham bagaimana penanganan alergi yang tepat. Menurut Sulistiawati, Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat – Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mengatakan selama ini masih banyak orang tua yang belum memahami cara mengenali gejala alergi yang tepat tetapi mencoba mengambil solusi sendiri.
"Untuk itulah, dibutuhkan penyuluhan mengenai alergi yang berkelanjutan dan komprehensif, yang mudah dipahami sehingga orang tua dapat mengenali serta menangani risiko alergi dengan tepat agar anak tetap dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan kualitas hidup anak tetap terjaga,” ujarnya dalam siaran persnya.
Terkait dengan edukasi yang berkelanjutan dan komprehensif, dokter keluarga memiliki peranan yang sangat penting karena mereka berada di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat satu. Sehingga masyarakat yang dapat terpapar tentang penyuluhan dan penanganan yang tepat.
Budi Setiabudiawan, Konsultan Alergi Imunologi Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran menjelaskan, alergi merupakan bentuk reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang dianggap berbahaya walaupun sebenarnya tidak.
"Ini bisa berupa substansi pemicu alergi atau alergen yang masuk atau bersentuhan dengan tubuh. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko alergi pada anak, yaitu: riwayat alergi pada keluarga, kelahiran caesar, makanan tertentu atau sesuatu yang terhirup seperti polusi yang termasuk polusi udara dan asap rokok,” ujarnya. Dampak alergi tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup anak seperti terbatasnya aktivitas belajar, bermain, sulit konsentrasi hingga sulit tidur.
Allergy & Asthma Foundation of America menyatakan bahwa alergi susu sapi merupakan salah satu alergi makanan yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Studi di beberapa negara di seluruh dunia menunjukkan prevalensi alergi susu sapi pada anak-anak di tahun pertama kehidupan sekitar 2% sampai 5%.
Indikator paling tepat untuk deteksi dini alergi adalah melalui riwayat keluarga, karena alergi bersifat genetik. Pada kedua orang tua yang memiliki riwayat alergi dan memiliki manifestasi yang sama, anaknya akan berisiko 60-80% terkena alergi, bahkan pada orang tua yang tidak memiliki riwayat alergi, anak tetap memiliki risiko alergi sebesar 5-15 persen. Pemberian nutrisi yang optimal pada awal kehidupan, dapat mengurangi risiko alergi karena anak dengan alergi dapat berkembang secara optimal dengan didukung nutrisi yang tepat. ASI merupakan yang terbaik bagi bayi dan anak yang mengalami alergi.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Budi Setiabudiawan,” Apabila anak terdiagnosis alergi protein susu sapi, ASI harus tetap diberikan, namun Ibu harus mengeliminasi susu sapi dan produk turunannya dalam pola makan sehari-hari, contohnya seperti sup krim, pudding dengan saus susu, pancake, dan lain sebagainya. Dan segera konsultasikan dengan dokter anak mengenai asupan nutrisi serta penanganan untuk anak, selama masa treatment asupan nutrisi anak harus menghindari protein susu sapi dan diberikan protein terhidrolisa ekstensif, protein asam amino bebas atau isolate protein soya sebagai alternatif nutrisi.”
Berita lainnya:
Menghalau Datangnya Alergi
Kiat Mencegah Kambuhnya Alergi pada Anak
Lima Cara Mengatasi Alergi Ilalang Kering