TEMPO.CO, Jakarta - Biji-biji cabai bertaburan di atas daging seukuran genggaman telapak tangan orang dewasa. Warnanya legam sedikit mengkilap. Saat daging menempel di lidah, rasa manis kecap langsung terasa. Ada yang agak berbeda pada iga bakar ini, rasa kepulaga, cengkeh, juga jahe, sebelum pedas cabai rawit menggoyang lidah.
Iga bakar rawit itu salah satu menu andalan Warung Legoh di Jalan Sultan Agung, Bandung. Disajikan bersih tanpa tulang, daging sapi terasa empuk dan kaya rasa. Supaya empuk, daging dimasak selama 5 jam dengan api kecil bersama bawang merah, bawang bombai, jahe, dan rempah. Setelah bumbu meresap, lalu dibakar, daging dipoles cairan kental campuran mentega, kecap manis, dan biji cabai rawit. Semangkuk sup panas berisi irisan kembang kol, tomat, dan daun bawang yang berendam di dalam kuah gurih ikut menemani.
Semua racikan di atas itu kreasi Leon Ray Legoh, 36 tahun, drummer band musik cadas Koil. Kedua tangan lelaki tambun berambut panjang itu di dapur ternyata sama lihainya seperti di atas panggung. Rasa pedas yang banyak terselip di menu warungnya bisa ditebak, karena lelaki kelahiran Bandung itu berasal dari keluarga Manado.
Warung makan itu didirikan oleh Leon pada 2003. Cita-cita punya warung itu muncul dari kepala Otong dan Leon. Kalau lagi kumpul, mereka ingin bisa ngobrol sambil makan di dapur. "Seperti di film-film mafia, bosnya masak sendiri buat anak buahnya," ujar Leon.
Modal awal warung Rp 30 juta, habis untuk membeli peralatan masak, tempat makan, dan perbaikan tempat agar layak sebagai warung. Setelah semuanya siap, masalah vital muncul. Leon kehabisan uang, sehingga tak bisa membayar koki.
Baca juga:
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu nekat. Dari biasa keluar-masuk dapur rekaman, ia turun ke dapur untuk belajar masak dari nol ke ibunya. "Bumbu rica jadi menu pertama yang saya bisa," katanya.
Memang, selain menu andalan iga bakar rawit, di warung itu ada beragam aneka masakan lain, misalnya ayam, bebek, cumi-cumi, atau lele berbumbu rica merah menyala. Ada pula lele cabai hijau, nasi goreng atau kwetiau rica, serta nasi goreng hitam yang warnanya berasal dari tinta cumi-cumi.
Untuk belajar masakan lain, misalnya masakan Cina, Leon rajin menyambangi rumah makan di Jalan Cibadak dan Gardujati untuk melihat cara pembuatan serta mencicipi bumbunya. Setelah tiga bulan berguru, lima hasil masakannya, seperti ayam rica, mi dan nasi goreng, serta capcai, disajikan dengan nasi rames.
Baru setelah punya 20 menu buatan sendiri, konsep warung itu berubah ke makanan dadakan. Walau sampai sekarang ada beberapa menu yang bumbunya belum dapat, tapi racikannya sudah mampu menggaet lidah pelanggan. Sebagian menu lahir dari permintaan tamunya. Perlu waktu berbulan-bulan buat Leon untuk menemukan rasa yang pas di lidahnya dan tampilannya menarik.
Pemakaian bumbu makanan Indonesia agak berbeda dengan komposisi makanan aslinya. Karena itu, ibunya suka protes. Ia merasa takut jika ditanya soal bumbu, terutama teman-teman ibunya yang jago masak. "Saya lebih suka menjelaskan bumbu ke koki karena lebih terbuka," ujar Leon.
Kalau tak ada jadwal pentas, Leon masih suka turun ke dapur sebagai koki kepala melayani pesanan tamunya. Sejak lima bulan lalu, dibuka cabang Warung Legoh di Jalan Taman Cibeunying Selatan, tak jauh dari Gedung Sate. Tempat ini lebih menonjolkan rasa masakan khas Manado berbahan utama makanan laut. "Pedasnya pas, jadi rasa bumbu dan makanannya masih terasa," kata Abdul Rifai, 53 tahun. Konsumen asal Jakarta itu memesan cumi bakar rica dan cakalang woku.
Harga makanan di Warung Legoh relatif terjangkau. Sebelum beranjak, tak ada salahnya memesan keju aroma untuk dibawa pulang. Kudapan itu berupa batang keju yang dibungkus tepung dengan taburan gula pasir, tanpa pisang.
Berita lainnya:
Resep Membuat Tahu Tek Surabaya
Menikmati Manisnya Gelato di Utara Jakarta
Gaya Kate Middleton di Belanda Mirip Jackie O