TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan lebih berisiko mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). Salah satu jenis gangguan jiwa ini timbul akibat kejadian yang traumatis. Menurut Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri Nurmiati Amir, hal ini disebabkan perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan.
"Perempuan lebih berisiko mengalami PTSD dibanding laki-laki karena perempuan lebih banyak terpapar kekerasan dan kejadian yang traumatis," ujarnya dalam konferensi pers dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Dunia 2016 pada Senin, 10 Oktober 2016, di Jakarta.
Selain faktor kekerasan, perempuan lebih rentan karena faktor biologis. "Daya tahan biologis perempuan lebih rendah karena hormon estrogen yang menurun. Padahal hormon estrogen ini yang melindungi perempuan dari gangguan jiwa. Misalnya, ketika perempuan haid, hamil, atau menopause, kadar estrogen dalam tubuh menurun. Dengan demikian, ketika ada kejadian yang menimbulkan stres, bisa mengakibatkan PTSD," katanya.
Perlu diingat bahwa tidak semua pembuat stres mengakibatkan gangguan jiwa. Pemicu stres terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat individual atau dependen dan yang independen atau katastropik.
Ringan atau beratnya skala pemicu dependen itu bergantung pada persepsi individu. Kematian pasangan, terjerat hukum, atau perceraian merupakan beberapa contoh pemicu stres dependen.
Pemicu independen termasuk skala yang berat. Bencana alam, kecelakaan, pemerkosaan, dan peperangan merupakan pemicu jenis ini. "Pemicu belum tentu mengakibatkan stres pada semua individu. Hal ini sangat bergantung pada kepribadian, pengalaman, serta kemampuan individu menghadapi masalah," tutur Nurmiati.
Sebelum seseorang mengalami PTSD, biasanya terjadi fase akut atau gangguan stres akut yang berlangsung tiga hari sampai satu bulan pascatrauma.
Artikel lain:
Lupakan Air Lemon, Minuman Ini Lebih Efektif Turunkan Berat
7 Risiko jika Kamu Kurang Tidur
7 Makanan Pembuat Berat Badan Cepat Melambung