TEMPO.CO, Jakarta - Semenjak ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009, batik kian diminati. Pada 2 Oktober pun kemudian diperingati sebagai Hari Batik Nasional.
Hal itu tak hanya mengangkat nilai batik, tapi juga turut mengangkat kehidupan para perajin batik. Seperti yang dirasakan seorang warga Desa Gamel, Plered, Cirebon, Tri Agustin. kini, wanita berusia 31 tahun ini bisa menghasilkan omzet rata-rata Rp 10 juta per bulan dari usahanya sendiri sebagai perajin batik sejak 2014.
Dia dapat menjual batik tulis mulai harga Rp 250 ribu–Rp 2 juta. Kondisi ini jauh berbeda saat dirinya masih menjadi buruh batik pada 2004 dengan penghasilan Rp 30 ribu setiap hari yang dibayarkan dua pekan kemudian.
Meski membatik sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarga, Agustin tak berani mengambil risiko dengan menjadi pengusaha batik. Dia tak mampu memasarkan hasil kerajinan batik. Dia juga tak mengerti kualitas batik yang diminati pasar. Maka, dia memilih bertahan sebagai buruh batik.
Pada 2012, bersama sebelas perajin batik lain, Agustin mulai belajar pemasaran melalui offline maupun online, mendapat akses ke pameran dan bazar, keterampilan teknik pewarnaan dari bahan alam, hingga pengelolaan keuangan.
Dari kegiatan tersebut, dia dapat menentukan harga jual kain batik lebih layak, membuat dan memasarkan sendiri kerajinan batik yang dihasilkannya. Selain itu, batik tulisnya makin diminati pasar karena menggunakan pewarna dari bahan alam, daripada saat menggunakan pewarna dari bahan kimia.
“Memang prosesnya lebih lama, karena perlu 20 kali pencelupan. Namun, di kulit pemakaianya lebih aman dan lebih diminati pasar. Kalau menggunakan bahan kimia cukup tiga kali pencelupan, tapi tidak nyaman di kulit,” tuturnya ditemui seusai hadir dalam talkshow Memberdayakan Batik dari Tradisi Menjadi Industri di Bentara Budaya Jakarta.
Meski telah melakukan lompatan dari seorang buruh batik menjadi pengusaha pabrik, Agustin tak ingin lekas berpuas diri. Perempuan yang belajar membatik sejak duduk di bangku sekolah dasar ini, berharap dapat terus mengembangkan usaha batiknya hingga menjadi usaha yang lebih mapan.
“Ingin punya showroom seperti Batik Trusmi,” katanya berharap.
Berita lainnya:
Masih Normalkah Penglihatan Anda?
Menjajal Hidangan Para Sultan Banten
Sambut Halloween, Karnivor Cafe Bandung Sediakan Menu Horor