TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok ilmuwan asal Italia memaparkan hasil penelitiannya di kongres Masyarakat Kesehatan Jantung Eropa (European Society of Cardiology/ESC) pada akhir Agustus 2016. Hasilnya, diet ala Mediterania "ditahbiskan" sebagai gaya hidup tersehat pada abad modern.
“Diet Mediterania merupakan pola pengaturan asupan nutrisi paling sehat di dunia,” kata Giovanni de Gaetano, pakar epidemologi dari Institut Neurologi Mediterania di Pozzilli, Italia, di kongres tersebut, seperti ditulis Science Daily. Sang profesor mengatakan diet yang diadopsi dari kebiasaan masyarakat di wilayah Laut Tengah ini mampu menurunkan angka kematian akibat serangan jantung. Menurut dia, diet ini bekerja lebih baik ketimbang Simvastatin, obat penurun kolesterol dalam darah, dalam mencegah kematian akibat serangan jantung.
Hal itu dibuktikan oleh studi yang berangkat dari keraguan soal kehebatan diet Mediterania. Sebab, penelitian yang sudah ada mengambil sampel orang-orang yang dikategorikan sehat. “Apakah diet ini juga optimal bagi pasien yang punya riwayat sakit jantung?” kata De Gaetano.
Untuk membuktikannya, dia merekrut 1.197 orang yang punya riwayat serangan jantung, stroke, dan penyumbatan arteri. Selama studi dilakukan, mereka diminta menjalankan pola konsumsi ala Mediterania. Setelah tujuh tahun, ada 208 kematian yang tercatat.
“Kami mendapati risiko kematian pada kelompok yang patuh terhadap diet berkurang 37 persen dibanding dengan kelompok yang tidak patuh,” kata dia. Bandingkan dengan kemampuan Simvastatin, yang menurut harian Inggris, Guardian, hanya mampu menurunkan risiko kematian hingga 24 persen.
Berdasarkan riset tersebut, De Gaetano menyimpulkan diet Mediterania memang memiliki efek powerful. “Saya menyarankan agar para dokter menganjurkan diet Mediterania untuk pasiennya ketimbang obat,” kata dia, seperti ditulis Telegraph.
Jeremy Pearson, Direktur Medis British Heart Foundation, mengatakan penelitian ini merupakan kabar baik bagi penderita penyakit kardiovaskular. “Apabila pasien yang sedang menjalankan terapi medis juga menjalankan diet Mediterania, keuntungan lebih akan didapat,” tuturnya.
Ahli kesehatan dan gizi dari Institut Pertanian Bogor, Hardinsyah, mengatakan diet Mediterania baik untuk kesehatan jantung karena kadar lemak trans yang mendekati nol. Diet ini, kata dia, cocok untuk diterapkan oleh masyarakat Indonesia. “Minyak zaitun bisa diganti dengan minyak jagung atau kacang kedelai, misalnya,” kata dia.
Aktor Reza Rahadian juga rutin mengkonsumsi minyak zaitun sejak dua bulan lalu. Saban pagi, sebelum makan dan minum, ia meneguk olive oil dan jinten hitam. Asupan itu ia ulangi pada siang hari dan sebelum tidur. “Sejak itu, saya tidak gampang sakit dan badan tidak cepat capek,” ujarnya.
Diet Mediterania pertama kali dikenalkan oleh Oldways, Harvard School of Public Health, dan Organisasi Kesehatan Dunia pada 1993. Diet ini merujuk pada kebiasaan makan masyarakat Kreta, Yunani, dan Italia Selatan pada sekitar 1960. Pada tahun tersebut, angka harapan hidup masyarakat di tiga wilayah tersebut menjadi yang tertinggi di dunia, dengan jumlah penderita penyakit kronis terendah di dunia. Padahal, layanan medis di tempat itu terbatas.
Masyarakat di Mediterania Selatan terbiasa mengisi piring mereka dengan sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, ikan, susu, anggur merah, dan minyak zaitun. Elemen lain yang tak kalah penting adalah pola hidup mereka. Masyarakat Mediterania terbiasa rutin berolahraga, makan bersama keluarga secara rutin, serta bangga mengkonsumsi makanan yang sehat dan lezat.
Penelitian soal pola hidup itu dilakukan di Spanyol, yang diketuai oleh Almudena Sánchez-Villegas dari University of Las Palmas de Gran Canaria. “Hasilnya tidak hanya mengikuti pola makan saja. Mengikuti pola hidup ini juga akan meningkatkan kesehatan mental,” kata dia.
Sánchez-Villegas memulai studinya 8,5 tahun lalu dengan mengumpulkan 11.800 orang. Ia lalu membagi mereka menjadi tiga kelompok, yakni yang sangat dekat dengan pola hidup Mediteranian, moderat, dan yang tidak mencerminkan pola hidup Mediteranian. Pada akhir studi, ia menemukan 806 orang didiagnosis mengalami depresi.
Namun ia menemukan fakta lainnya. Jumlah orang yang didiagnosis mengalami depresi dari kelompok yang mencerminkan pola hidup Mediterania kurang dari 50 persen. Jumlah ini lebih sedikit daripada dua kelompok lainnya, yang di atas 50 persen. Hasil penelitian Sánchez-Villegas itu telah dipublikasikan dalam jurnal Clinical Psychological Science, 9 Agustus lalu.
DINI PRAMITA
Berita lainnya:
Mari Kenali Tipikal Rekan Kerja di Kantor
Kenapa Kita Perlu Mendengarkan Suara Hati?
Habiskan Seporsi Sate Kambing, Coba Cek Nutrisinya