TEMPO.CO, Jakarta - Menjadi orang tua adalah salah satu tugas paling menantang dalam kehidupan. Namun, tak semua orang tua tahu bagaimana cara menjadi orang tua yang baik. Termasuk untuk urusan berbicara dengan anak.
Melanie Greenberg, Ph.D, seorang praktisi psikologi asal Amerika, menganjurkan agar orang tua, terutama ibu sebagai orang yang cenderung banyak bicara, tidak melakukan 4 cara bicara dengan anak berikut ini:
1. Berbicara terlalu banyak
Ketika ibu terus menerus berbicara, anak hanya akan mendengarnya seperti bla-bla-bla. Sebuah penelitian menyebutkan, kemampuan seseorang untuk benar-benar mendengar secara efektif adalah sekitar 30 detik. Ini sama artinya hanya satu hingga dua kalimat saja.
Contoh kalimat tidak efektif:
“Mama tidak yakin apa kamu bisa mengambil dua ekstrakurikuler sekaligus semester ini. Bisa jadi, kamu tidak akan sanggup melakukan keduanya. Bayangkan kalau masih ditambah les balet hari Senin, Rabu, Jumat. Lalu pencak silat hari Selasa dan Kamis. Pasti kamu akan kecapaian. Kecuali kamu bisa mengatur jadwal belajar lebih awal….”
Kalimat di atas membuat bingung anak-anak. Karena mengandung terlalu banyak ide dan semuanya negatif. Ini membuat anak menjadi ragu dan gamang. Sebaiknya, tidak perlu memberitahukan anak seluruh informasi dalam satu waktu. Sampaikan sepotong saja. Biarkan anak mencerna lebih dulu. Biarkan dia berpikir dan membuat keputusan terbaik yang bisa dia lakukan.
Contoh kalimat efektif:
“Jika kamu ambil balet dan pencak silat semester ini, kamu harus sama aktif di keduanya. Coba pikirkan, apa kamu sanggup?”
Orang tua cukup membatasi bicara hanya dengan dua kalimat tegas.
2. Mengomel dan memberi peringatan berlapis
Kebanyakan ibu begitu gigih di pagi hari untuk membuat seluruh anggota keluarga bergerak dengan cepat. Bangun cepat, makan cepat, mandi cepat, dan lain-lain. Alih-alih anak lebih bersemangat, mereka justru ogah-ogahan. Ibu pun semakin stres dan semakin cerewet, hingga keluarlah omelan-omelan bahkan kritik yang berlebihan.
Contoh kalimat tidak efektif:
“Mama membangunkan kamu lebih cepat satu jam karena kamu tidak pernah tepat waktu. Ayo, cepat mandi dan lekas pakai baju.”
Sepuluh menit kemudian…
“Ya, ampun. Masih tidur-tiduran saja! Benar-benar, deh kamu akan bikin kita semua terlambat. Ayo, cepat bangun!”
Sepuluh menit kemudian…
“Buku pelajaran sudah rapi, belum? Ada yang harus Mama tanda tangan atau tidak? Ya, ampun, pakai baju saja lama. Oh, hari ini kita semua akan terlambat....”
Kalimat-kalimat di atas mengandung terlalu banyak tanggung jawab yang diperintahkan, tetapi dilakukan sambil lalu. Ini disebut “helicopter parenting”. Berisik, menerbangkan segala yang ada di sekitarnya, dan menyisakan kekacauan.
Cobalah orang tua bertutur seperti ini:
“Kita akan berangkat dalam 45 menit. Kalau ada keperluan sekolah yang belum siap, jelaskan sendiri kepada gurumu.”
Orang tua cukup menyebutkan ketetapan peraturan dengan jelas. Beritahukan konsekuensi jika tidak mengikutinya.
3. Menggunakan rasa bersalah dan malu untuk mendapatkan kepatuhan
Satu hal yang perlu diketahui, anak tidak memiliki kemampuan empati secara alami, apalagi untuk bisa mengeluarkannya setiap kali Anda mengharapkannya.
Contoh kalimat tidak efektif:
“Mama sudah meminta berulang kali agar kamu membereskan mainan, tapi coba lihat, semuanya berantakan di lantai. Apa kamu enggak kasihan sama Mama? Tadi kan Mama sudah rapikan semua. Dan sekarang Mama harus merapikannya lagi. Kenapa, sih kamu tega banget sama Mama.”
Sebuah kalimat yang sangat penuh muatan energi negatif. Menyebut anak “tega”, tidak punya rasa kasihan, itu akan menjadi label yang sangat buruk untuk anak-anak.
Cobalah ganti kalimatnya dengan yang ini:
“Mama lihat kamu tidak merapikan mainan. Mama kecewa. Karena mainan kamu berantakan di atas kasur, lalu bagaimana kamu akan tidur? Jadi, malam ini seluruh mainan kamu akan Mama taruh di gudang. Kamu bisa ambil besok sambil menaruhnya lagi di tempatnya semula.”
Orang tua tetap bisa mengungkapkan rasa kecewanya, tetapi tanpa kemarahan atau sikap menyalahkan. Anak juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
4. Tidak mendengarkan
Kita ingin mengajarkan anak menghargai sesama. Cara paling baik adalah dengan menjadi contoh. Anda bisa menunjukkan kepada anak bagaimana sikap hormat dan peduli saat berinteraksi dengan mereka.
Contoh kalimat tidak efektif:
Anak bercerita betapa bangganya dia karena sudah membuat gol pada pertandingan sepak bola. “(Tanpa melakukan kontak mata) oh, keren banget, sayang. Sekarang main sama adik kamu, ya! (Lalu bergumam sendiri) kok, alarm oven belum bunyi, ya?”
Mendengarkan yang efektif, melibatkan gerak tubuh dan mimik wajah yang tepat, seperti kontak mata, menunjukkan wajah ikut bangga, dan lain-lain. Orang tua semacam ini, walau mengucapkan kata “sayang”, artinya tetap tidak peduli dan anak tidak merasa berharga.
Inilah contoh kalimat yang lebih memiliki arti bagi anak-anak:
“Ha, kamu mencetak gol? Keren! (Sambil menatap dan mengacungkan jempol). Mama tahu kamu pasti bangga. Coba, ceritakan kejadiannya?”
Dengan kalimat semacam ini, orang tua menunjukkan rasa tertarik dan bahkan antusias. Mengajak anak untuk menceritakan kejadiannya dengan lebih jelas juga akan melatih anak mengungkapkan perasaannya.
Berita lainnya:
Berbagi Pekerjaan Rumah dengan Anak
Bersihkan Mainan Anak agar Tidak Jadi Sarang Kuman
Tren Fashion yang Awet Sepanjang Masa: Gaya Monokrom