TEMPO.CO, Jakarta - Semua orang tentu ingin memiliki keluarga normal yang bahagia. Namun, definisi kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh kondisi normal. Sebagian keluarga harus menjalani tantangan karena ada anggotanya yang menderita sindrom autisme.
Tidak dapat dipungkiri, keberadaan anak autistik akan membawa perubahan besar pada hampir seluruh aspek kehidupan keluarga. Orang tua dengan anak autistik harus melatih diri untuk menjadi lebih sabar dalam merawat dan membesarkan putranya.
Dibutuhkan perhatian ekstra besar untuk anak autistik serta penerapan interaksi dan disiplin yang sesuai dengan karakter anak tersebut. Tidak hanya orang tua, kakak/adik pun harus menyesuaikan diri dengan kondisi istimewa saudara sekandungnya.
Lantas, bagaimana seharusnya sebuah keluarga bersikap, jika ada anggotanya yang mengidap autisme? Pola interaksi dan komunikasi seperti apa yang seharusnya diberikan si penderita?
Psikolog anak Endang Retno Wardhani dalam penelitiannya berjudul Penanganan Orang Tua terhadap Kondisi Anak Autisme menjelaskan masing-masing orangtua memiliki tingkat penerimaan yang berbeda-beda terhadap kondisi anak autistik.
Beberapa hal yang memengaruhi antara lain tingkat kematangan dan kestabilan emosi orangtua, pendidikan, status sosial dan ekonomi, jumlah anggota keluarga, struktur dalam keluarga, serta latar belakang budaya.
Endang menggarisbawahi, semakin tinggi skala penolakan orang tua terhadap anak autistik, semakin panjang pula rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengintervensi kondisi sang anak. Sebaliknya, semakin cepat orangtua menerima kondisi anak dan semakin sedikit problematika di dalam keluarga mereka, maka semakin cepat pula penanganan penyembuhan terhadap anak autistik.
“Untuk itu orangtua harus menyamakan presepsinya secara menyeluruh dan saling memotivasi untuk menumbuhkan optimisme terhadap penyembuhan anaknya. Ini adalah kondisi ideal yang harus dibentuk di dalam lingkungan keluarga,” jelas Endang.
Keberadaan orangtua yang suportif, lanjutnya, akan memperkecil kemungkinan munculnya kesenjangan dalam proses tumbuh kembang anak autistik. Dia menambahkan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh para ortu yang memiliki anak pengidam sindrom autisme.
Pertama, kenali anak secara menyeluruh untuk dapat melihat potensi positif dan kelemahan apa yang dimiliki oleh anak autistik. Perhatikan bagaimana dia bereaksi secara emosional, pola regulasinya, rutinitasnya, perilakunya, serta cara berinteraksinya.
Kedua, bersikap terbuka dan menunjukkan dukungan pada anak. Orang tua pun harus memastikan terapis/ahli dan lingkungan sekolah anak autistik juga memberi perhatian ekstra dan dukungan penuh padanya.
Ketiga, siapkan sebuah program dengan pihak profesional untuk membantu proses terapi. Carilah ahli yang memiliki pemahaman menyeluruh dalam menjalankan program khusus autisme secara terpadu. “Hal terpenting yang harus dilakukan orang tua pada anak autistik, bukan sekadar pendidikan atau menerapi perliaku mereka, tetapi menjalin hubungan dan ikatan yang dilandasi kasih sayang dan penerimaan yang tulus,” tuturnya.
Selain itu, dia memperingatkan meskipun anak autistik membutuhkan perhatian khusus, jangan sampai orang tua menjadikan anak tersebut sebagai pusat segalanya. Jangan sampai kebutuhan anak-anaknya yang lain terabaikan. “Jadi harus seimbang!”
Dia menambahkan terapi anak pengidap autisme tidak akan berhasil jika hanya bergantung pada tenaga ahli. Orang tua harus melibatkan diri sedini mungkin, yaitu sebelum anak menginjak usia 5 tahun, periode di mana pertumbuhan fisik dan psikis anak begitu pesat.
Psikolog anak dari RSUD dr Soetomo Surabaya, Rudy Sutadi, menjelaskan anak autistik tidak bisa sembuh total 100 persen. Namun, mereka dapat diterapi agar bisa tumbuh normal. Apalagi, jika terapi dilakukan sejak dini. “Anak autistik harus diberi terapi okupasi untuk memperbaiki kondisi dan keterampilan ototnya. Misalnya dengan terapi wicara untuk melancarkan otot-otot mulut mereka agar dapat berbicara lebih baik,” jelasnya.
Terapi okupasi ditujukan untuk melatih otot motorik halus pada anak. Cara lainnya bisa melalui kegiatan belajar sambil bermain. Selain itu, anak autistik juga harus diberikan terapi medikamentosa berupa obat-obatan dari pihak medis yang berwenang.
“Selain itu, dilakukan juga terapi makanan untuk mereka yang bermasalah dengan alergi. Anak autistik harus diet susu sapi dan terigu, karena mengandung protein dan gluten. Tubuh mereka tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna,” paparnya.
Senyawa yang tidak terurai dengan sempurna bisa masuk ke pembuluh darah dan diterima oleh otak sebagai morfin. Pada banyak kasus, ditemukan kandungan morfin berciri kasein dan gluten pada urine penderita autisme.
Morfin akan mengganggu kinerja otak dan saraf, sehingga anak akan berperilaku aneh serta sulit berinteraksi dan berkomunikasi. “Anak autistik berpeluang untuk menjadi normal. Namun, orangtua harus terus optimistis. Jangan sampai peluang itu hilang hanya karena orangtuanya mengambil keputusan yang salah dalam menangani kondisi anaknya,” katanya.
Berita lainnya:
Efek Dahsyat Suara Ibu bagi Otak Anak
Pokemon Go Tingkatkan Kemampuan Sosial Anak Autis
Ide Bingkisan Tamu Ulang Tahun Anak yang Bermanfaat